Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Risalah Poligami Salah Kaprah Interpretasi Ayat

20 Agustus 2021   14:59 Diperbarui: 20 Agustus 2021   15:05 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa sebelum Masehi, kaum lelaki memandang bahwa perempuan itu tak ubahnya sebagai barang dagangan bahkan bisa diwariskan.

Pada masa Romawi kuno kaum wanita sudah terbiasa diwariskan sang ayah kepada anaknya. Jika sang anak itu suka maka bisa saja dia mengawini ibunya.

Selain itu juga wanita dianggap sebagai kaum yang hina dan lemah karena tidak bisa berperang dan terkesan menjadi beban saja.

Namun jika yang lahir itu seorang anak lelaki, maka akan menjadi kebanggaan keluarganya dan dianggap bisa mengangkat derajat keluarganya. Bahkan waktu itu memadu wanita adalah hal yang sangat biasa sekali.

Seorang pria bisa memiliki istri lebih dari satu bahkan 10 istri atau lebih pun menjadi hal yang lumrah. Tak hanya itu saudara kandung kakak beradik pun menjadi hal yang biasa saja ketika dimadu (poligami).

Karena pandangan orang pada waktu itu perempuan tak lebih hanya sebagai pemuas nafsu saja dan seperti barang yang bisa ditukarkan serta diperjual belikan. Tak berbeda jauh apa yang terjadi di Jazirah Arab pun demikian.

Jazirah Arah pra Islam memiliki adat istiadat atau kebudayaan yang memandang wanita itu seperti barang saat seorang wanita ada dalam masa haid/menstruasi, mereka diikat dan diasingkan di tempat tertentu.

Ada beberapa kabilah Arab yang tega mengubur hidup bayi perempuan mereka karena merasa terhina dan takut membawa sial. Perempuan di Jazirah Arab pra Islam diperlakukan tak ubahnya seperti hewan diambil tenaganya namun tak diberi kedudukan yang setara dengan kaum pria diperjual belikan dan cenderung hanya sebagai pemuas nafsu sex semata.

Kemudian Islam lahir sekitar abad ke 7 M dengan membawa dogma keadilan bahwa oleh Islam perempuan di muliakan kedudukannya dan mendapat keadilan gender bukan kesetaraan buta.

Seorang wanita menepati porsinya wanita yang strategis boleh belajar, boleh berpendapat dan hal lain yang menepatkan serta memosisikan mereka sesuai dengan porsinya. Bahkan ada satu perkataan Nabi SAW, yang berbicara tentang Surga itu di bawah kaki seorang ibu.

Dan ada satu hadis lain yang berbicara bahwa harus kepada siapa kita berbakti, Nabi SAW menjawab Ibu mu, Ibu mu, Ibu mu sebanyak tiga kali diulang, kemudian baru Bapak mu. Dan banyak statemen Islam lainnya yang menyatakan bahwa derajat seorang ibu itu spesial di dalam Islam.

Namun dalam beberapa hal Islam terbuka untuk mengadopsi adat/budaya pra Islam yang tidak bertentangan dengan syariat Allah SWT. Serta merujuk kepada kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Salah satunya adalah poligami.

Adat poligami di adopsi oleh Islam sebagai satu hukum/aturan di antara aturan-aturan Islam lainnya. Dalam hal ini Islam membatasi bolehnya berpoligami hanya sampai 4 istri saja. Islam mengakomodir poligami bukan berarti setuju terhadap praktek-praktek yang mendiskriminasikan perempuan.

Namun Islam menawarkan poligami sebagai solusi agar tidak terjebak kepada dosa yang lebih besar. Dosa yang lebih besar itu bukanlah zina sebagaimana banyak pendapat orang. Akan tetapi Islam menyoroti ketidakadilan seorang lelaki yang menjadi Wali dari seorang perempuan Yatim, sesuai dengan sebab turunnya ayat ke tiga surat Annisaa.

Bahwasanya ayat tersebut menceritakan tentang Wali yang menikahi anak tanggungannya dengan membebani mas kawin yang tidak layak padahal harta benda peninggalan dari sang ayah yatim tersebut sanggatlah banyak maka untuk menjaga agar keadilan itu tidak ternodai, diberilah solusi untuk menikahi wanita baik-baik selain dari anak yatim tanggungannya tersebut. Boleh dua, tiga atau empat, dengan syarat pokok tetap harus didasari rasa keadilan.

Tapi jika dia tidak mampu berbuat adil maka cukup satu istri saja karena hal itu bisa meminimalkan ketidakadilan. Jadi inilah substansi dari ayat tersebut. Adanya aturan poligami tidak berdiri sendiri tapi ada latar belakang kejadian yang mengharuskan Islam mengakomodir hukum tersebut.

Menjadi suatu hal yang salah besar seandainya Islam dituduh sebagai agama yang mengakomodir ketidakadilan gender dan memaksa umatnya untuk berbuat dzalim terhadap wanita.

Jelaslah sudah bahwa orang-orang terdahulu memosisikan gender sangatlah diskriminatif lebih dari itu kaum lemah dari kalangan orang biasa tak luput dari diskriminasi para pejabat atau pembesar di masa lalu.

Ketika Islam datang maka Islam memuliakan gender wanita. Karena dalam Islam kedudukan wanita sangatlah mulia, bahkan ibu adalah sekolah Pertama bagi sang anak.

Berhasil atau tidaknya seorang anak tergantung kecakapan seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Jadi Islam sangat menjunjung tinggi dan memuliakan derajat seorang wanita. Kemudian ada orang-orang yang menuduh Islam sebagai agama diskriminatif maka sangatlah naif dan tuduhan yang sangat tak berdasar sekali.

Belajar Islam dari sumbernya langsung, akan mendapatkan autentisitas informasi dan keluar dari kesimpangsiuran konklusi.

Islam menjunjung tinggi rasa keadilan, humanisme dan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemanusian lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun