Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (14): Cinta Itu Bukan Perasaan

18 Juni 2022   17:47 Diperbarui: 18 Juni 2022   17:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebaliknya, untuk cinta sejati dibutuhkan tekad dan sikap bijaksana. Jika kita peduli dengan pertumbuhan spiritual seseorang, tanpa tekad yang penuh, pertumbuhan tersebut tidak akan maksimal. Kita perlu berkomitmen penuh agar kepedulian kita benar-benar membuahkan hasil. Itulah sebabnya komitmen sangat penting artinya dalam terapi kejiwaan.

Hampir mustahil pribadi pasien bisa berkembang pesat jika tidak ada "persekutuan" dengan terapis. Maksudnya, sebelum sang pasien mengambil langkah berani untuk melakukan perubahan besar, dia harus terlebih dulu merasa kuat dan aman. Hal ini hanya bisa tercapai jika yang bersangkutan percaya bahwa sang terapis akan selalu dan senantiasa menjadi sekutunya.

Agar persekutuan ini dapat terjalin, terapis harus menunjukkan kepada sang pasien, umumnya setelah melewati waktu yang lama, bahwa dia akan selalu dan senantiasa peduli. Ini hanya bisa terjadi jika ada komitmen dari sang terapis. Tapi bukan berarti sang terapis selalu ingin mendengarkan si pasien. Yang dimaksud dengan komitmen adalah sang terapis mendengarkan pasiennya, suka atau tidak. Perkawinan pun demikian.

Dalam perkawinan yang berjalan dengan baik, sama seperti dalam terapi yang berjalan dengan baik, pasangan memperhatikan dan mengurus pasangannya maupun hubungan mereka secara teratur, rutin dan gamblang, tidak peduli apa pun perasaan mereka satu sama lain. Sudah kita bahas bahwa cepat atau lambat perasaan jatuh cinta pada pasangan akan hilang, dan ketika naluri kawin sudah berlalu maka cinta sejati pun mulai muncul. Ketika pasangan tidak lagi ingin selalu bersama-sama, ketika mereka sekali-sekali ingin berada di tempat lain, cinta mereka mulai diuji, dan bisa diketahui apakah cinta sejati itu ada atau tidak.

Bukan berarti mereka yang hubungannya berjalan baik dan stabil, misalnya dalam psikoterapi intensif atau dalam perkawinan, tidak mengkateksiskan pasangan maupun hubungan yang terjalin di antara mereka; mereka mengkateksiskan itu semua dengan macam-macam cara. Yang dimaksud di sini, cinta sejati itu bukan semata-mata kateksis.

Jika cinta tumbuh, cinta tersebut akan tumbuh meskipun tidak ada kateksis dan tidak ada perasaan cinta. Memang lebih mudah, dan menyenangkan tentunya, mencintai seseorang jika ada kateksis dan rasa cinta. Tapi kita bisa mencintai seseorang tanpa kateksis dan tanpa rasa cinta, dan kondisi inilah yang membedakan cinta yang sejati dan agung dengan sekadar kateksis. Yang membedakan adalah "kehendak".

Sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa cinta adalah kehendak untuk mengembangkan diri, yang tujuannya adalah agar spiritualitas dirinya sendiri maupun spiritualitas orang lain tumbuh. Cinta sejati adalah karena kemauan sendiri bukan karena emosi. Orang yang tulus mencintai akan mencintai orang karena dia memutuskan untuk mencintai. Orang ini berkomitmen untuk menjadi orang yang mencintai tanpa peduli apakah perasaan cinta ada atau tidak.

Akan jauh lebih baik tentunya jika perasaan cinta itu ada, tapi kalaupun tidak ada perasaan cinta, komitmen atau tekad untuk mencintai, kehendak untuk mencintai, akan tetap ada dan akan tetap dia jalankan. Sebaliknya, orang yang mencintai bukan hanya bisa tetapi juga harus berupaya untuk tidak melakukan sesuatu hanya berlandaskan perasaan cinta.

     [bersambung ke bagian 15]

     Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun