Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (14): Cinta Itu Bukan Perasaan

18 Juni 2022   17:47 Diperbarui: 18 Juni 2022   17:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nanti akan kembali dibahas bahwa cinta sejati adalah kegiatan mengisi jiwa sendiri. Mencintai bukan hanya itu; mencintai membuat pribadi kita semakin besar, bukannya semakin kecil; mencintai membuat pribadi kita semakin penuh, bukan justru semakin kosong. Mencintai sesungguhnya sama egoisnya dengan tidak mencintai.

Ini juga yang menjadikan cinta sesuatu yang paradoks, artinya mencintai itu tindakan yang egois sekaligus tidak egois. Yang membedakan mana yang cinta dan mana yang bukan cinta bukanlah sikap egois atau tidak egoisnya, melainkan tujuannya. Dalam cinta sejati, yang dituju selalu pertumbuhan spiritual. Jika bukan cinta, tujuannya tujuan yang lain lagi.

Cinta Bukan Perasaan

Seperti yang saya kemukakan di atas, cinta itu tindakan atau sesuatu yang kita lakukan. Masih ada satu lagi pandangan yang keliru tentang cinta. Cinta itu bukan perasaan. Banyak sekali orang merasa mencintai, dan mereka bereaksi terhadap perasaan tersebut dengan cara yang negatif dan tidak penuh cinta. Sebaliknya, orang yang tulus mencintai akan melakukan sesuatu yang positif dan dengan penuh cinta untuk orang yang tidak disukainya, meskipun dia sebenarnya tidak punya rasa cinta terhadap orang tersebut ketika itu, dan bahkan mungkin menganggap orang tersebut tidak menyenangkan.

Kita merasakan cita saat kita mengkateksis. Seperti yang pernah kita bahas, mengkateksis adalah proses ketika sesuatu menjadi penting bagi kita. Begitu terkateksiskan, sesuatu yang kita sebut sebagai "obyek cinta" tersebut menjadi obyek curahan energi, seolah-olah obyek itu menjadi bagian dari kita. Hubungan kita dengan sesuatu tersebut disebut kateksis. Karena ada banyak hubungan semacam itu yang terjalin bersamaan, ada banyak kateksis. Saat kita tidak lagi mencurahkan energi pada obyek cinta sehingga obyek tersebut tidak penting lagi bagi kita, prosesnya disebut mendekateksiskan.

Pandangan yang salah bahwa cinta itu sebetulnya perasaan muncul karena kita salah mengartikan 'mengkateksis' sebagai 'mencintai'. Hal ini bisa dimengerti karena proses keduanya mirip meskipun perbedaannya juga mencolok.

Pertama, sebagaimana kita bahas sebelumnya, kita bisa mengkateksiskan benda apa pun, entah itu benda hidup atau benda mati, baik yang memiliki jiwa maupun yang tidak. Jadi, orang bisa mengkateksiskan pasar saham atau perhiasan, dan merasakan cinta pada obyek tersebut.

Kedua, meskipun kita mengkateksiskan seseorang, kita belum tentu peduli dengan perkembangan spiritual orang tersebut. Orang yang tidak mandiri biasanya takut bila pasangan yang menjadi obyek yang dia kateksiskan berkembang spiritualitasnya. Ibu yang memaksa mengantar dan menjemput anak laki-lakinya yang sudah besar dapat dipastikan mengkateksiskan anak tersebut; anaknya penting bagi dia -- namun pertumbuhan spiritual sang anak tidak dianggapnya penting.

Ketiga, seberapa besar kadar kateksis kita tidak ada kaitannya dengan komitmen atau kearifan kita. Bisa saja dua orang asing bertemu di bar dan saling berkateksis sedemikian rupa sehingga tidak ada satu hal pun --janji untuk bertemu orang lain, janji kepada seseorang atau keutuhan rumah tangga sekalipun-- yang lebih penting dibanding keinginan untuk saling berhubungan intim.

Terakhir, kateksis sifatnya hanya sementara dan bisa lekas berlalu. Setelah hubungan intim berakhir, bisa saja kedua orang yang bertemu di bar tadi merasa pasangannya tidak lagi menarik dan tidak lagi menimbulkan hasrat. Sesuatu yang baru saja kita kateksiskan bisa dalam sekejap kita jadikan bukan kateksis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun