Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (11)

14 Juni 2022   11:37 Diperbarui: 14 Juni 2022   11:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[foto pribadi -- The Penguin Thesaurus of Quotations, Rhoda Thomas Tripp]

Pertama, komunikasi kita dengan binatang peliharaan sangat sedikit dibanding komunikasi yang bisa kita jalin dengan orang lain (selama kita memang mau berusaha keras berkomunikasi dengan orang tersebut). Kita tidak tahu apa yang binatang kesayangan kita pikirkan. Karena ketidaktahuan ini maka kita menganggap bahwa binatang kesayangan kita tahu apa yang kita pikirkan dan rasakan, dan kita merasa ada kedekatan emosi dengan mereka padahal mungkin bukan begitu kenyataannya.

Kedua, kita akan menganggap binatang peliharaan menyenangkan sepanjang keinginan mereka sama dengan keinginan kita. Kita biasanya memilih binatang peliharaan berdasarkan ini, dan jika kehendak mereka melenceng jauh dari apa yang kita kehendaki, mereka kita buang. Kita tidak akan lama-lama memelihara binatang peliharaan jika mereka protes, atau melawan kita.

Untuk mengembangkan jiwa dan pikiran hewan kesayangan, satu-satunya tempat yang kita pilihkan untuk mereka adalah tempat pelatihan anjing untuk membuat mereka patuh. Padahal kita sendiri masih punya keinginan agar orang lain memiliki "keinginan sendiri"; keinginan untuk melihat yang berbeda pada orang lain itulah salah satu ciri cinta sejati.

Yang terakhir, dalam hubungan dengan binatang peliharaan, kita berusaha agar mereka terus bergantung. Kita tidak ingin mereka tumbuh besar dan pergi dari rumah. Kita ingin mereka tetap tinggal di rumah, berbaring dekat kita. Keterikatan mereka dengan kita dan bukan kemandirian merekalah yang membuat kita menyayangi binatang peliharaan.

"Cinta" kepada binatang peliharaan sangat penting dibahas di sini karena banyak sekali orang yang hanya mampu "mencintai" binatang peliharaan dan tidak mampu mencintai sesama manusia dengan sungguh-sungguh.

Banyak tentara Amerika yang menikah dengan wanita Jerman, Italia atau Jepang semasa perang. Pernikahan mereka tampak ideal sekalipun komunikasi lisan dengan isteri tidak berjalan lancar. Tapi begitu isteri mereka belajar bahasa Inggris, pernikahan tersebut mulai luluh-lantak. Tentara ini tidak bisa lagi memproyeksikan atau mengalihkan perasaan, keinginan dan tujuan hidup mereka sendiri kepada isteri mereka, dan mereka tidak bisa lagi merasakan kedekatan seperti yang seseorang rasakan saat bersama binatang peliharaan.

Ketika sang isteri belajar bahasa Inggris, mereka mulai sadar bahwa perempuan ini punya pikiran, gagasan dan tujuan yang berbeda. Pada saat itulah sebagian dari mereka mulai merasakan cinta; namun kebanyakan dari mereka, sepertinya, malah berhenti mencintai.

Tidak salah jika wanita penganut paham liberal akan berhati-hati dengan pria yang memanggilnya dengan panggilan sayang "pet"[catatan: "pet" dapat dipadankan dengan "sayangku" atau "manisku", tapi terjemahan harfiahnya adalah "hewan kesayanganku"]. Pria ini mungkin memang orang yang hanya mengasihi pasangan yang mau menjadi binatang peliharaannya, dan tidak bisa menghargai kekuatan, kemandirian dan kepribadian pasangannya.

Ada banyak contoh tentang ini. Yang rasanya paling mengenaskan adalah ibu yang "mencintai" anak-anaknya hanya ketika mereka masih bayi. Ada banyak wanita seperti itu, dan mereka bisa kita temui di mana-mana. Wanita ini sosok ibu yang ideal sampai anaknya berumur dua tahun -- dia ibu yang lemah-lembut, menyusui bayinya dengan penuh suka-cita, suka memeluk dan bermain dengan bayinya, selalu mencurahkan kasih sayang, mengasuh bayinya sepenuh hati dan wanita ini bahagia menjadi ibu. Lalu, hanya dalam sekejap, semuanya berubah.

Begitu sang anak mulai memaksakan keinginan --tidak lagi patuh, merengek-rengek, tidak mau bermain, kadang-kadang tidak mau dipeluk-peluk, menjadi dekat dengan orang lain, sedikit-sedikit mulai melakukan sesuatu sendiri-- sang ibu berhenti mencintai dia. Si ibu tidak lagi tertarik dengan sang anak, mendekateksiskan sang anak dan menganggap sang anak mengganggu.

Pada saat itu pula kerap muncul pada diri sang ibu keinginan yang sangat kuat untuk hamil lagi, ingin punya bayi lagi, ingin punya binatang kesayangan lagi. Biasanya dia berhasil, dan siklusnya berulang. Kalau tidak, dia akan menjaga bayi tetangga sementara anak atau anak-anaknya yang sudah mulai besar dan minta perhatian hampir tidak dihiraukannya sama sekali.

Bagi anak-anaknya, "usia dua tahun yang menyebalkan" bukan saja saat mereka bukan lagi bayi tetapi juga saat mereka harus kehilangan cinta sang ibu. Rasa kehilangan dan penderitaan tersebut bisa dilihat dan dirasakan orang lain tapi tidak disadari sang ibu yang tengah sibuk merawat bayi barunya. Pengalaman ini berdampak pada sang anak, dan biasanya terlihat begitu sang anak tumbuh dewasa, dan menjadi orang yang depresif dan/atau pasif & bergantung.

Yang dimaksud di sini adalah "cinta" terhadap bayi dan binatang kesayangan dan juga terhadap pasangan yang patuh dan bergantung pada kita adalah perilaku naluriah yang bisa kita sebut "naluri sebagai ibu" atau, lebih umum lagi, "naluri sebagai orangtua". Kita bisa menyamakannya dengan perilaku naluriah "jatuh cinta": perilaku ini bukan bentuk cinta sejati karena relatif tanpa kerja keras, dan bukan sepenuhnya tindakan yang didasari kehendak atau pilihan.

Jatuh cinta membuat manusia dapat bertahan hidup namun tidak membuat manusia berkembang atau spiritualitasnya tumbuh; jatuh cinta mirip dengan cinta karena mendekatkan diri kita dengan sesama dan membina hubungan antarmanusia yang menjadi awal munculnya cinta sejati. Tapi masih banyak lagi yang dibutuhkan untuk dapat membina perkawinan yang sehat dan kreatif, mendidik anak menjadi anak yang sehat jiwa dan raganya, atau membantu manusia berevolusi.

Intinya, mengasuh anak bisa dan seharusnya bukan sekadar memberi makan, dan mengembangkan spiritualitas merupakan proses yang jauh lebih rumit, dan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan naluri. Ibu yang diceritakan di awal bab ini, yaitu ibu yang tidak mengizinkan putranya pergi ke sekolah naik bis, adalah contoh yang pas menggambarkan hal itu.

Mengantar dan menjemput sekolah anak memang bisa dikatakan sebagai cara mengasuh anak, tapi bentuk pengasuhan seperti ini bukanlah yang sang anak butuhkan, dan cara tersebut jelas membuat spiritualitasnya malah terhambat alih-alih berkembang.

Ada banyak contoh lain: ibu yang tidak henti-hentinya memberi makan anak yang sudah kelebihan berat badan; ayah yang membelikan anak laki-lakinya mainan sampai kamar sang anak penuh-sesak dengan mainan, dan membelikan anak perempuannya pakaian sampai selemari penuh; orang tua yang tidak menetapkan aturan untuk anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka kehendaki.

     [bersambung ke bagian 12]

     Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun