Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (11)

14 Juni 2022   11:37 Diperbarui: 14 Juni 2022   11:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[foto pribadi -- The Penguin Thesaurus of Quotations, Rhoda Thomas Tripp]

Pada saat itu pula kerap muncul pada diri sang ibu keinginan yang sangat kuat untuk hamil lagi, ingin punya bayi lagi, ingin punya binatang kesayangan lagi. Biasanya dia berhasil, dan siklusnya berulang. Kalau tidak, dia akan menjaga bayi tetangga sementara anak atau anak-anaknya yang sudah mulai besar dan minta perhatian hampir tidak dihiraukannya sama sekali.

Bagi anak-anaknya, "usia dua tahun yang menyebalkan" bukan saja saat mereka bukan lagi bayi tetapi juga saat mereka harus kehilangan cinta sang ibu. Rasa kehilangan dan penderitaan tersebut bisa dilihat dan dirasakan orang lain tapi tidak disadari sang ibu yang tengah sibuk merawat bayi barunya. Pengalaman ini berdampak pada sang anak, dan biasanya terlihat begitu sang anak tumbuh dewasa, dan menjadi orang yang depresif dan/atau pasif & bergantung.

Yang dimaksud di sini adalah "cinta" terhadap bayi dan binatang kesayangan dan juga terhadap pasangan yang patuh dan bergantung pada kita adalah perilaku naluriah yang bisa kita sebut "naluri sebagai ibu" atau, lebih umum lagi, "naluri sebagai orangtua". Kita bisa menyamakannya dengan perilaku naluriah "jatuh cinta": perilaku ini bukan bentuk cinta sejati karena relatif tanpa kerja keras, dan bukan sepenuhnya tindakan yang didasari kehendak atau pilihan.

Jatuh cinta membuat manusia dapat bertahan hidup namun tidak membuat manusia berkembang atau spiritualitasnya tumbuh; jatuh cinta mirip dengan cinta karena mendekatkan diri kita dengan sesama dan membina hubungan antarmanusia yang menjadi awal munculnya cinta sejati. Tapi masih banyak lagi yang dibutuhkan untuk dapat membina perkawinan yang sehat dan kreatif, mendidik anak menjadi anak yang sehat jiwa dan raganya, atau membantu manusia berevolusi.

Intinya, mengasuh anak bisa dan seharusnya bukan sekadar memberi makan, dan mengembangkan spiritualitas merupakan proses yang jauh lebih rumit, dan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan naluri. Ibu yang diceritakan di awal bab ini, yaitu ibu yang tidak mengizinkan putranya pergi ke sekolah naik bis, adalah contoh yang pas menggambarkan hal itu.

Mengantar dan menjemput sekolah anak memang bisa dikatakan sebagai cara mengasuh anak, tapi bentuk pengasuhan seperti ini bukanlah yang sang anak butuhkan, dan cara tersebut jelas membuat spiritualitasnya malah terhambat alih-alih berkembang.

Ada banyak contoh lain: ibu yang tidak henti-hentinya memberi makan anak yang sudah kelebihan berat badan; ayah yang membelikan anak laki-lakinya mainan sampai kamar sang anak penuh-sesak dengan mainan, dan membelikan anak perempuannya pakaian sampai selemari penuh; orang tua yang tidak menetapkan aturan untuk anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka kehendaki.

     [bersambung ke bagian 12]

     Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun