Kita ambil contoh pria yang berkebun karena hobi. Hobinya menyenangkan sekaligus menyita perhatian. Dia "cinta" berkebun. Bagi dia, kebunnya sangat berarti. Pria tersebut sudah mengkateksiskan kebunnya. Menurutnya, kebun tersebut sangat menarik; dia meluangkan banyak tenaga untuk kebun tadi, dia mencurahkan perhatian pada kebunnya -- saking cintanya, dia rela bangun pagi-pagi pada hari Minggu untuk ke kebun lagi, ia bisa menolak pergi jauh meninggalkan kebunnya, dan bahkan isterinya bisa terabaikan.
Selama proses kateksis berjalan dan untuk merawat tanaman bunga dan perdunya, ia belajar banyak -- tentang tanah dan pupuk, mengenai pemangkasan daun dan ranting, dan soal pengakaran. Dia juga tahu banyak tentang kebunnya -- riwayatnya, jenis bunga-bungaan dan pepohonan yang ada di situ, penataannya, masalahnya dan bahkan masa depannya.
Meskipun kebun itu ada di luar dirinya, lewat kateksis yang ia rasakan, kebunnya pun akhirnya ada di dalam dirinya. Apa yang dia ketahui tentang kebun tadi dan seberapa penting kebun itu baginya, menjadi bagian dari dirinya, dari jati dirinya, dari sejarah hidupnya, dari apa yang ia ketahui. Dengan mencintai dan mengkateksiskan atau mencurahkan segenap kemampuan batinnya demi kebun ini, dia sebetulnya sudah membuat kebun itu menyatu dalam dirinya, dan proses penyatuan tersebut menjadikan dirinya berkembang dan batasan egonya meningkat.
Setelah selama bertahun-tahun mencintai dan meningkatkan batas kemampuan diri demi kateksis, yang terjadi adalah perlahan-lahan tapi pasti kita lalu berkembang menjadi lebih besar, dunia di luar kita menyatu ke dalam diri kita, dan batasan ego kita meningkat, memuai dan menipis. Jika diri kita berkembang semakin besar dan semakin lama, dan jika cinta kita semakin besar, maka perbedaan antara diri kita dengan dunia pun semakin kabur. Kita menjadi sama atau satu dengan dunia. Dan begitu batasan ego kita semakin kabur dan tipis, kita semakin sering merasakan kegembiraan yang pernah muncul saat batasan ego kita runtuh sebagian ketika kita "jatuh cinta".
Bedanya, kita bukan lagi semu menyatu hanya untuk sementara waktu dengan sesuatu yang kita cintai tapi sungguh-sungguh menyatu lebih kekal dengan sebagian besar yang ada di sekeliling kita. Kita bisa membentuk "kesatuan mistis" dengan seluruh dunia.
Ketika menyatu itulah kita merasakan kegembiraan atau kebahagiaan yang mungkin tidak sebesar dan sehebat yang kita rasakan ketika jatuh cinta tapi jauh lebih mantap, lebih langgeng dan tentunya lebih memuaskan. Bedanya mirip dengan perbedaan antara pengalaman puncak yang menjadi ciri jatuh cinta dan apa yang Abraham Maslow sebut sebagai "plateau experience" (pengalaman plato)*. Rasa tersebut tidak begitu saja muncul lalu hilang lagi, melainkan ada selamanya.
[* Religions, Values and Peak-Experiences (New York: Viking, 1970), prakata]
Banyak yang berpandangan bahwa kegiatan seksual dan cinta, sekalipun kadang muncul bersamaan, dianggap tidak berkaitan karena memang keduanya berbeda. Bercinta sendiri bukan perbuatan cinta. Sekalipun demikian, hubungan intim, terutama orgasme (juga saat masturbasi), sedikit-banyak dikaitkan dengan runtuhnya batasan ego dan kegembiraan yang muncul bersamaan dengan itu. Karena batasan ego ini runtuh, pada saat terjadi klimaks kita bisa menjerit, "Aku sayang kamu" atau "Ya Tuhan" kepada wanita penghibur meskipun beberapa saat kemudian, setelah batasan ego kita kembali seperti semula, tidak ada sama sekali getaran cinta, rasa suka atau perhatian.
Bukan berarti suka-cita yang lebih besar tidak dapat kita rasakan saat orgasme bersama kekasih; perasaan bahagia justru bisa meningkat. Namun, tanpa kekasih atau pasangan lain pun, pada saat kita mengalami orgasme, batasan ego bisa runtuh sepenuhnya; sesaat kita bisa benar-benar lupa daratan, lupa tempat dan waktu, hilang arah, lupa diri, mengawang. Kita bisa menyatu dengan alam semesta. Tetapi hanya sekejap.
Dalam cinta sejati, "kemanunggalan dengan alam semesta" berlangsung lama sedangkan kemanunggalan saat orgasme hanya sementara, dan untuk menjelaskan ini, saya memakai istilah "penyatuan mistis". Kebatinan atau tasawuf intinya adalah keyakinan bahwa realitas merupakan kemanunggalan. Menurut kepercayaan penganut sejati paham kebatinan, keliru atau hanya ilusi pandangan orang banyak bahwa alam semesta yang berisi begitu banyak benda yang berbeda-beda --bintang, planet, pohon, burung, rumah, kita--Â dipisahkan satu sama lain oleh batasan. Terkait anggapan umum yang keliru bahwa dunia khayalan ini nyata, umat Hindu dan Budha menamai dunia khayal tersebut "Maya".
Menurut umat Hindu dan Budha dan penganut paham kebatinan lain, untuk mengerti seperti apa realitas itu, kita harus mengalami kemanunggalan dengan cara melepas atau membuang batasan ego. Tidak mungkin kita bisa sepenuhnya mengerti bahwa alam semesta itu merupakan satu kesatuan jika kita tetap menganggap diri kita benda yang lain, terpisah dan berbeda dari benda lain di alam semesta. Karenanya, umat Hindu dan Budha umumnya percaya bahwa bayi yang batasan egonya belum terbentuk paham apa yang disebut realitas tapi tidak demikian dengan orang dewasa. Ada pula yang berpandangan bahwa untuk mendapat pencerahan atau untuk mengerti apa yang dimaksud dengan kemanunggalan realitas, kita harus kembali seperti sebelumnya atau berlaku seperti bayi.