Di era globalisasi saat ini teknologi berkembang demikian pesat, batas-batas negara dan jarak semakin dipersempit oleh kehadiran teknologi khususnya teknologi informasi interconnected computer network/interconnection networking (internet) . Perdagangan antar negara dipermudah dengan adanya teknologi ini, pola-pola perdagangan modern terhadap perdagagan barang dan jasa terbentuk dengan hadirnya teknologi informasi ini, perdagangan tidak lagi hadir secara konvensional dimana kehadiran fisik sangat diperlukan dalam transaksi perdagangan. Bagi perdagangan barang, produsen tidak selalu harus tergantung pada distributor/trader guna memasarkan produknya sampai ke pengguna akhir/konsumen mengingat produsen dengan memanfaatkan internet dapat melakukan promosi dan penjualan langsung.
Disisi lain pedagang/trader merubah metodologi penjualannya dari distributor konvensional menjadi distributor modern dimana distributor tidak lagi menjadi kewajiban menyediakan gudang penyimpanan guna menampung barang-barang produsen untuk disalurkan kepada konsumen akhir, cukup menyediakan skema jual beli dan portal online penjualan barang serta mempersiapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang matang sudah dapat melakukan penjualan kepada konsumen akhir, sebagai contoh adalah MATAHARIMALL.COM. ,LAZADA, TOKOPEDIA, BLIBLI.
Demikian juga halnya dengan perdagangan jasa, banyak jasa-jasa dengan format yang modern akhir-akhir ini tumbuh signifikan, jasa penghubung (dealership) antara pengendara angkutan umum kendaraan roda dua professional (ojek) dengan konsumen selaku pengguna jasa, demikian juga untuk roda 4 (empat), sebagai contoh jasa penghubung (dealership) di bidang transportasi umum yang memanfaatkan internet adalah GO-JEK, UBER, GRAB BIKE/CAR, TRAVELOKA untuk transportasi udara. Jasa penghubung (dealership) di bidang pariwisata : TRAVELOKA, PEGIPEGI.
Contoh tersebut diatas merupakan revolusi dari pola perdagangan barang dan jasa di Indonesia, dalam tatanan internasional juga terjadi hal yang sama, banyak penjual barang dan jasa memanfaatkan internet guna memasarkan produk dan menjangkau langsung konsumen, tidak hanya konsumen nasional namun juga konsumen internasional baik yang bersifat B to B maupun B to C, misalnya, AMAZON.COM untuk perdagangan barang dengan target konsumen dunia, E-BAY jasa lelang internasional berbasis internet, para advokad professional yang menyediakan jasa hukum lintas negara, para dokter yang menyediakan jasa layanan kesehatan online kepada konsumen di dunia baik secara pribadi maupun melalui jasa penghubung pihak ketiga seperti E-MED ( http://www.e-med.co.uk), Arsitek, ALIBABA.com untuk transaksi yang bersifat B to B dsb. Semuanya memanfaatkan internet dalam transaksi perdagangannya. Perilaku transaksi bisnis yang memanfaatkan internet dewasa ini dikenal sebagai E-COMMERCE.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut penulis mencoba merefleksi dan mengingatkan kembali terkait isu tersebut dengan tentunya sedikit berbeda dengan mencoba memberikan sedikit gambaran ilustratif preskriptif atau pemecahan masalah atas isu ini yang pada intinya penulis hanya fokus pada tujuan utama bagaimana melindungi kepentingan nasional dan kesejahteraan bangsa indonesia. Sebagai konsumen baik yang bersifat B to B dan B to C tentunya dalam transaksi perdagangannya dalam konteks melalui E-Commerce menghendaki adanya perlindungan apabila ternyata tidak dapat menikmati atau memanfaatkan secara penuh barang dan atau jasa yang telah dibelinya, dalam hal transaksi perdagangan E-Commerce terjadi didalam negeri dimana konsumen dan produsen atau distributor juga berdomisili dan berbadan hukum lokal.
Ini tidak menjadi masalah karena konsumen telah dilindungi haknya oleh Undang-Undang Perlindungan konsumen (Consumer Protection Law) dimana masing-masing negara memiliki Undang-Undang ini, misalnya konsumen Indonesia di Indonesia membeli barang dari WWW.LAZADA.COM atau E-Commerce lainnya dalam hal jika terjadi perselisihan katakanlah barang yang dibeli cacat atau jasa yang diperoleh salah sasaran, maka konsumen dapat menuntut haknya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 dan menyelesaikan sengketanya jika penjual tidak mau memberikan kompensasi di pengadilan negeri yang berwenang apabila menempuh jalur peradilan, atau Badan Penyelesai Sengketa Konsumen dalam hal penyelesaian di luar peradilan. Namun bagaimana penyelesaiannya jika lintas negara dimana konsumen misalnya adalah konsumen Indonesia yang membeli barang dari E-Bay atau Alibaba.Com?
Tentu ini mejadi hal yang sulit jika ternyata penjual tidak memiliki badan hukum di Indonesia atau perwakilannya di Indonesia, jalur yang ditempuh jika memang berniat menuntut haknya yaitu melalui 1: peradilan International , dalam penyelesaian melalui peradilan International sangat rumit penyelesaiannya dan berbiaya sangat mahal, sebab masing masing pihak jika negara para pihak tidak menjadi peserta UNIDROIT Principle, UNCITRAL, CSIG dan konvensi penyelesaian sengketa perdata internasional lainnya. Selanjutnya para pihak berkehendak penyelesaiannya dilaksanakan di negaranya, maka akan berselisih mengenai kewenangan pengadilan di negara masing-masing untuk menyelesaikan perkara ini dengan melihat teori-teori hukum International terkait negara mana dan hukum apa yang berwenang.
Tentu hal tersebut sangat sulit dan memakan banyak waktu serta biaya yang super besar jika konsumen hanya membeli sepasang sepatu, demikian juga halnya apabila negara menjadi peserta konvensi internasional tersebut diatas tetap saja berbiaya mahal untuk membayar lawyer internasional guna memenangkan perkara membeli sepasang sepatu. Pada akhirnya, konsumen hanya bisa mengeluh di media sosial dan tetap rugi.
Cara kedua melalui peradilan umum nasional, cara ini bisa saja dalam praktik dilakukan dan dimenangkan oleh peradilan nasional masing-masing pihak, namun bagaimana dengan eksekusi putusannya? Ini menjadi permasalahan besar, eksekusi oleh peradilan di suatu negara tidak dapat dilaksanakan pada negara lain hal ini terkait dengan teori kedaulatan suatu negara yang tidak dapat dipengaruhi oleh negara manapun, sehingga putusan menjadi sia-sia, kemenangan hanya diatas kertas. Dalam hal ini konsumen kembali dirugikan.
Di satu sisi terkait dengan transaksi E-Commerce internasional, Indonesia sendiri sampai dengan saat ini belum dapat melindungi konsumen nasional. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen no 8 tahun 1999 (UUPK) yang hanya berdimensi lokal, tidak satupun yang memuat dimensi Internasional sebagai salah satu contoh misalnya definisi pelaku usaha (pasal 1 ayat 3 UUPK) dalam UUPK hanya mengenal pelaku usaha nasional bukan pelaku usaha internasional demikian juga halnya dengan UU ITE yang hanya banyak mengatur masalah teknis ITE bukan masalah perlindungan hukum perdata atas suatu transaksi bisnis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa transaksi E-Commerce Internasional bagi konsumen nasional berpotensi merugikan konsumen nasional jika terjadi perselisihan atau bahasa sederhananya konsumen nasional atas suatu transaksi E-Commerce Internasional tidak terlindungi hak-haknya.
Konsumen hanya bisa pasrah menerima kenyataan dan berharap penjual internasional mempunyai etika bisnis yang baik. Lalu apa solusinya dalam hal ini? Jika kita kembali pada konsep “national security” (lihat artikel “fenomena sowden, dan Konsep National Security bagi kesejahteraan Indonesia) tentunya hal ini juga dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan nasional ketika sejumlah konsumen nasional dianggap dirugikan dalam transaksi E-Commerce internasional ini. Dalam hal ini Indonesia diharapkan, segera merevisi UUPK dengan mengadopsi dimensi Internasional dari sisi transaksi E-Commerce sebagai dasar hukum, yang kedua Indonesia diharapkan dapat menawarkan solusi kompensasi (remedies) terkait kerugian konsumen akibat transaksi E-Commerce internasional dengan membuat skema kompensasi dan sanksi bagi perusaan asing yang melakukan E-Commerce di Indonesia.