[caption id="" align="alignnone" width="598" caption="Mahasiswa menuntut Soeharto mundur di Gedung MPR/DPR, Mei 1998.foto http://berita.plasa.msn.com"][/caption] Menyebut Mei 98 adalah mengundang fobia: penculikan yang tak terselesaikan, penembakan mahasiswa, amuk massa, pemerkosaan etnik China, rakyat menyerbu parlemen, yang akhirnya berujung dengan tergulingnya sang legenda, sang Jenderal Mesem itu, Suharto. Di situ kita berduka. Di situ kita melihat terbitnya matahari reformasi. Di situ kita melongo terpana. Di situ kita haru dan menitikkan air mata. Kendati juga, segalanya kini telah pulih sebagaimana sediakala, dan kita mulai rajin nggrundeli apa saja yang kita anggap gagal dan tak memuaskan. Ya, memang demikianlah tabiat manusia. Ia memang payah. Dan diciptakannya pun dengan susah payah. Laqad khalaqnal insaana fii kabad. Terkait itu, apa kicauan kang Mertodali hari ini. Mari kita dengarkan sambil nyruput kopi: "Ngene lho Bro. Sebenernya saya gak tertarik dengan tema ini. Bukan karena kurang dramatik. Wuaa, kalau itu justru luar biasa dramatiknya. Malahan sedulur-sedulurku yang di perfileman kemarin tak rekomendasi supaya cepet-cepet riset dan memfilemkan ini, sebelum dicaplok sama boss Holywood. Duit gampang bisa dicari, yang penting ada bukti konkrit dulu, kesungguhan kerja dan kreatifnya. Filmnya lyris saja, gaya Spielberg-lah. Alur ceritanya mengikuti narasi tokoh sentrum. Mesti apik tenan dadine. Tapi kudu riset tenan, supaya gamblang persoalan. Sebab di sinilah soalnya. Mei 98 adalah labirin sejarah yang belum terbaca dengan seksama. Kita terlalu biasa berada dalam keremangan sejarah yang berwajah ganda. Kita terlalu biasa ditelikung kepentingan-kepentingan. Kita terlalu biasa memaafkan kesalahan, serta sebaliknya, terlalu biasa mengutuk dan memberikan hukuman. Di sini kita tahu, betapa melempemnya daulat hukum kita. Dan itulah yang membuat saya enggan bercerita. Sementara kita ingin merunut obyektifitasnya, bisa jadi orang curiga, mengira kita sedang kampanye untuk kubu ini atau itu. Intinya, di antara catetan-catetan sejarah yang tumpang tindih dan berantakan, kita tidak tahu siapakah dalang yang berada di balik peristiwa Mei kelabu itu. Kita hanya tahu, pak Prabowo di sini adalah satu-satunya sosok manusia yang dihadapkan kepada kita sebagai kambing hitamnya. Dan kita yang terbiasa taklid ini akan gampang menerimanya begitu saja. Setidaknya, jika kita geram, telah tersedia sasaran buat mengutuknya. Ini yang saya tidak setuju. Di manapun sedulur-sedulurku berdiri, on the right side ataupun on the left side, mesti memperbaiki tradisi kutuk mengutuk ini. Semua peristiwa dianyam dari sekian benang konstelasi. Saya sangat-sangat percaya bahwa kita semua sama-sama ingin berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara. Maka, ayo sareh. Silakan berkampanye dengan cara yang dewasa. Di sini saya tidak bermaksud membela-bela pak Prabowo secara buta. Saya hanya ingin meletakkan kembali fakta sejarah yang masih teka-teki. Karena, jika kemungkinan yang lain kita baca, sebenarnya ada berderet nama yang bisa kita bersuudzon padanya. Dan jika dalam peristiwa getir itu pak Harto benar-benar terhasut oleh orang-orang sekelilingnya, lalu mengusir mantunya itu, lalu menendangnya menjadi sampah sejarah, kita akan selamanya berada dalam lingkaran samsara dusta-dusta. Adakah pak Prabowo adalah orang yang didzolimi dan berada dalam kedudukan mulia? Ataukah ia benar dalang segala malapetaka yang berlumur dosa? Sedulur-sedulur yang budiman. Kita harus jujur, kita tidak mengerti. Kita belum mengerti. Transisi kekuasaan waktu itu terlalu diliputi kabut rezim yang berwatak mencekam dan serba samar. Dan persoalannya, pak Prabowo, yang waktu itu belum gendut, memang punya hubungan baik dengan para aktivis reformasi. Di sisi yang lain tak bisa dinafikan ia merupakan bagian dari lingkaran besar keluarga Cendana, yang waktu itu menjadi memedi bangsa. Ia memang memiliki posisi strategis sebagai terdakwa, baik dari kubu rakyat maupun penguasa. Tapi bagaimana mungkin pulitik kita terjemahkan dengan cara hitam putih demikian? Kita tak mengerti persisnya, dan tak ada tuntutan untuk menjegal kesabaran dengan memaksakan diri seolah mengerti. Data-data baru terus mengalir dan tak ada salahnya kita satu per satu mengikuti dan meneliti, hingga akhirnya mendapati pemahaman yang terang. Kita boleh jatuh hati dengan pak Jokowi, tapi tidak perlu buru-buru mengadili. Jika kita membabi buta dan mengutuknya, sedulur lain yang dalam madzab berbeda, yang mencintai dan mendukung beliau sebagai seorang patriot yang memenuhi panggilan bangsanya, akan turut terluka dan teraniaya. Kita boleh mengkritisi siapa saja, tanpa harus mencemari jiwa kita dengan kebencian. Jadi teringat dengan guru-guru ngaji kita, mereka tak bosan mengingatkan, bahwa kita harus senantiasa berwaspada dari segala syak wasangka, yang dibisikkan ke dalam dada kita. Min syarril was waasil khan naas, aladzi yuwaswisu fi sudurin naas. Sesekali ada baiknya, kita off kan tipi dan internet kita. Sesekali ada baiknya kita hijrah menjadi manusia. Di situ ada anak-anak kita. Di situ ada orang tua kita. Ada sedulur-sedulur kita. Ada tetangga-tetangga kita. Kita layak mendengarkan mereka. Layak berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Karena mereka semua adalah miniatur bangsa, dimana segala cita-cita, segala ideologi, segala bentuk perjuangan akan berpulang kepadanya." KANG MERTODALI NGECIPRUS PILPRES #11 Yogjo, 12614
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H