Quo Vadis IDI
Sebuah Tinjauan tentang Peran, Tantangan, dan Reformasi yang Diperlukan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang memiliki peran penting dalam memajukan kualitas kesehatan di Indonesia, khususnya melalui pengelolaan dan pengaturan tenaga medis di tanah air.
Namun, dalam perkembangan zaman dan kebijakan kesehatan yang terus berubah, ada pertanyaan yang muncul: Apakah IDI masih relevan dengan tantangan dan kebutuhan sektor kesehatan Indonesia saat ini? Atau apakah IDI perlu mengalami reformasi besar-besaran untuk bisa lebih beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebijakan baru, khususnya yang menyangkut tenaga medis dan tenaga kesehatan?
Artikel ini akan mencoba memberikan analisis mendalam mengenai operasional IDI saat ini, peranannya, serta kemungkinan perlunya reformasi dalam menghadapi tantangan yang ada.
Peran dan Fungsi IDI
IDI, yang didirikan pada tahun 1950, memiliki visi menciptakan Dokter Indonesia yang Beretika, Mandiri, Profesional, dan Menjunjung Tinggi kesejawatan.Â
Dengan membawa misi utama untuk mengembangkan profesi kedokteran di Indonesia melalui penyusunan kode etik, pengembangan kompetensi, advokasi bagi para anggotanya, memperjuangkan kesejahteraan anggotanya, serta yang tidak kalah penting adalah ikut mewujudkan masyarakat Indonesia sehat dan bermartabat.
IDI berperan dalam menyatukan dokter di seluruh Indonesia dan memastikan bahwa tenaga medis di Indonesia bekerja sesuai dengan standar profesional yang berlaku.
Namun, dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam dunia medis dan kebijakan kesehatan, fungsi dan peran IDI tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan tantangan saat ini. Beberapa contoh:
- Kurangnya Peran IDI dalam Kebijakan Kesehatan Nasional: IDI seharusnya menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Namun, terkadang IDI terkesan tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pembuatan kebijakan kesehatan. Salah satu isu yang sering muncul adalah tidak terlibatnya IDI dalam pembahasan kebijakan mengenai tenaga medis, gaji dokter, dan sistem pembiayaan kesehatan. Keputusan-keputusan yang berhubungan dengan sektor medis kadang diambil tanpa konsultasi yang mendalam dengan IDI.
Berkurangnya peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam kebijakan kesehatan nasional dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat internal maupun eksternal. Beberapa faktor utama yang bisa menjelaskan fenomena ini:
- Ketidaksiapan IDI dalam Menanggapi Perubahan Cepat. Kebijakan kesehatan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan tenaga medis, terus berubah seiring dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi. IDI sering kali dianggap lamban dalam merespons perubahan-perubahan ini. Misalnya, dalam hal reformasi sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau kebijakan terkait tarif pelayanan medis, IDI terkadang terkesan tidak memiliki posisi yang cukup tegas atau terkoordinasi dalam mempengaruhi keputusan-keputusan penting. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang menetapkan tarif pelayanan kesehatan di rumah sakit sering dianggap merugikan tenaga medis, tetapi IDI dinilai kurang efektif dalam memperjuangkan kepentingan dokter terkait hal ini.
- Fragmentasi dan Kepemimpinan yang Lemah. Banyak pihak di dalam IDI merasa bahwa organisasi ini terlalu terfragmentasi dan tidak memiliki struktur kepemimpinan yang solid untuk menyatukan suara seluruh anggota. Ketika peran IDI dalam kebijakan kesehatan berkurang, ini juga terkait dengan kurangnya sinergi antara cabang-cabang IDI di daerah dan pusat. Kepemimpinan IDI yang sering kali terkesan elit dan tidak inklusif menyebabkan perbedaan kepentingan di dalam organisasi itu sendiri, yang berakibat pada lemahnya daya tawar dalam menyampaikan aspirasi ke pemerintah.
- Dominasi Kekuatan Politik dan Ekonomi Lain. Dalam pembentukan kebijakan kesehatan, pemerintah sering kali berkolaborasi dengan berbagai pihak lain yang memiliki pengaruh besar, seperti perusahaan asuransi kesehatan, pengusaha rumah sakit, dan bahkan lembaga internasional. Dominasi pihak-pihak ini seringkali lebih besar dari IDI, karena mereka memiliki sumber daya politik dan ekonomi yang lebih kuat untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam situasi ini, IDI terpinggirkan dalam perdebatan kebijakan kesehatan meskipun merupakan salah satu aktor kunci dalam implementasinya.
- Pengaruh Kebijakan Eksternal dan Internasional. Selain itu, pengaruh kebijakan internasional, seperti rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau kerangka kerja kesehatan global, juga dapat menggeser fokus kebijakan kesehatan nasional. Pemerintah Indonesia, dalam menjalankan kebijakan kesehatan, sering kali lebih merujuk pada standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tersebut, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan tenaga medis dalam negeri. IDI, yang lebih terfokus pada kepentingan nasional, kadang kesulitan untuk menyeimbangkan kedua kepentingan ini.
- Keterbatasan dalam Advokasi dan Pengaruh Politik. Dalam beberapa tahun terakhir, IDI sering kali dianggap kurang memiliki kekuatan advokasi di tingkat nasional. Untuk memengaruhi kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan kebijakan kesehatan, organisasi profesi seperti IDI memerlukan dukungan politis yang kuat. Namun, IDI kerap kali kurang berperan dalam menjalin hubungan strategis dengan pengambil kebijakan, serta kurang efektif dalam memobilisasi anggota untuk advokasi kebijakan. Hal ini menyebabkan suara IDI diabaikan dalam pengambilan keputusan yang penting.
- Fokus pada Isu Internal dan Konflik Profesional. IDI juga cenderung terlalu fokus pada isu internal terkait dengan disiplin profesi dan kesejahteraan anggotanya. Sementara itu, dalam konteks kebijakan kesehatan nasional, IDI seharusnya juga lebih terlibat dalam diskursus besar tentang reformasi kesehatan, pengembangan sistem layanan kesehatan nasional, atau penguatan JKN. Ketika IDI lebih banyak berurusan dengan isu-isu internal, misalnya terkait dengan perselisihan antar anggota atau sektor-sektor kedokteran yang lebih sempit, perannya dalam kebijakan kesehatan nasional menjadi terbatas.
- Ketergantungan pada Pemerintah. IDI juga sering kali dianggap terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi arah kebijakan kesehatan. Hal ini dapat membatasi ruang gerak IDI dalam melakukan pendekatan alternatif yang lebih independen. Sementara itu, dalam banyak kasus, kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan profesi medis dapat memperlemah posisi IDI di mata publik dan pemerintah. Ketergantungan pada pemerintah juga menyebabkan IDI terkesan tidak memiliki keberanian atau inisiatif untuk berbuat lebih banyak di luar jalur yang ditetapkan pemerintah.
- Kurangnya Pendidikan dan Pengembangan Kapasitas. Sebagai organisasi profesi, IDI seharusnya berperan dalam peningkatan kapasitas anggota, tidak hanya dalam bidang teknis medis tetapi juga dalam hal advokasi, kepemimpinan, dan pengembangan kebijakan. Namun, IDI dinilai masih kurang dalam menyediakan pelatihan atau pengembangan kemampuan dalam aspek-aspek tersebut, yang menjadikannya kurang siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar dalam kebijakan kesehatan nasional. Tanpa pengembangan kapasitas ini, IDI sulit untuk berkompetisi dengan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan arah kebijakan kesehatan.
Berbagai faktor tersebut menjelaskan mengapa IDI kehilangan sebagian perannya dalam kebijakan kesehatan nasional. Perubahan zaman yang cepat, keterbatasan dalam kemampuan advokasi, serta ketergantungan pada pemerintah dan kekuatan politik lainnya telah memperlemah posisi IDI sebagai penggerak utama dalam kebijakan kesehatan. Untuk mengembalikan peran dan pengaruhnya, IDI perlu melakukan reformasi internal yang mencakup peningkatan kepemimpinan, lebih proaktif dalam advokasi kebijakan, serta pemanfaatan teknologi dalam mendukung pengembangan profesi medis. Selain itu, IDI juga harus memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan lain, baik di sektor publik maupun swasta, agar suara tenaga medis tetap didengar dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan nasional.
- Peran IDI dalam Advokasi Hak Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya: Dalam beberapa kasus, IDI tidak cukup vokal dalam memperjuangkan hak-hak tenaga medis, baik dalam hal kesejahteraan maupun perlindungan hukum. Meskipun ada usaha untuk melibatkan diri dalam isu kesejahteraan dokter, seperti gaji yang rendah, jam kerja yang panjang, dan masalah kesehatan mental, IDI seringkali terkesan tidak mampu memberikan solusi konkret yang memadai. Dengan era keterbukaan informasi saat ini, pendekatan advokasi dengan cara lama tentu memerlukan perubahan.
- Pengembangan Kompetensi dan Standar Profesi: IDI juga memiliki peran besar dalam pengembangan kompetensi dokter melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Namun, kualitas pelatihan yang disediakan terkadang masih terbatas dan belum sepenuhnya mengikuti standar internasional yang dapat meningkatkan kualitas tenaga medis Indonesia. Peran IDI dalam membantu pembuatan kurikulum pendidikan dokter tidak terlalu terlihat. Tidak ada evaluasi dan monitoring terhadap kinerja layanan kesehatan yang diberikan dokter dan membandingkannya dengan standar pendidikan, standar kompetensi dan standar profesi.
Tantangan yang Dihadapi IDI di Era Kini
Dalam menghadapi perkembangan zaman, IDI harus menyesuaikan diri dengan banyak tantangan baru yang muncul, seperti:
- Perubahan Teknologi dalam Dunia Kedokteran: Dengan kemajuan teknologi medis yang pesat, mulai dari penggunaan AI (Artificial Intelligence), telemedicine, hingga teknologi genetik, dokter perlu memiliki keterampilan baru untuk bisa mengikuti perkembangan ini. IDI harus berperan aktif dalam memastikan bahwa anggotanya memiliki akses terhadap pelatihan yang relevan untuk menguasai teknologi baru. Sayangnya, IDI terkadang belum mampu memfasilitasi para dokter agar dapat beradaptasi dengan perubahan ini.
- Tuntutan Terhadap Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Tenaga Medis: Secara umum, dokter masih mengalami masalah kesejahteraan, baik kesejahteraan sosial maupun kesejahteraan profesi. Banyak dokter yang menghadapi masalah kesehatan mental karena tekanan pekerjaan yang berat, jam kerja yang panjang, serta tantangan emosional dalam menangani pasien. IDI perlu lebih banyak berfokus pada kesejahteraan anggotanya dengan menyediakan program dukungan kesehatan mental yang lebih baik. Namun, sampai saat ini, IDI masih dianggap kurang dalam menyediakan program yang secara khusus mengatasi isu ini.
- Reformasi Kebijakan Kesehatan dari Pemerintah: Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai kebijakan baru dalam sektor kesehatan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan rencana peningkatan distribusi tenaga kesehatan ke daerah-daerah yang kurang terlayani, baik dalam bentuk perubahan kurikulum pendidikan, standar kompetensi hingga mengizinkan masuknya tenaga medis dari luar negeri. Namun, implementasi kebijakan-kebijakan ini seringkali bertentangan dengan kondisi yang dihadapi tenaga medis, seperti kurangnya insentif di daerah terpencil atau beban kerja yang sangat tinggi. IDI harus lebih proaktif dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan ini agar dapat melindungi kepentingan anggotanya.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, muncul pertanyaan besar: Apakah IDI perlu bereformasi atau bahkan perlu digantikan oleh organisasi profesi baru yang lebih modern dan responsif terhadap kebutuhan zaman?
Beberapa alasan yang mendukung perlunya reformasi di IDI adalah:
- Ketidaksesuaian dengan Kebutuhan Tenaga Medis Modern: IDI sering dianggap tidak cukup adaptif terhadap perubahan. Organisasi ini perlu lebih terbuka terhadap teknologi baru dan cara-cara kerja yang lebih efisien dalam profesi kedokteran, serta menyediakan lebih banyak dukungan terhadap isu kesehatan mental dan fisik tenaga medis. Banyak anggota merasa bahwa organisasi ini tidak cukup mewakili kepentingan mereka, terutama yang bekerja di fasilitas kesehatan non-pemerintah atau sektor swasta. Ketimpangan antara anggota yang bekerja di rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, atau dokter di daerah yang terpencil, sering menjadi masalah yang tidak teratasi.
- Kurangnya Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan Kesehatan: IDI perlu memperkuat posisinya dalam pengambilan keputusan kesehatan nasional. Reformasi yang dilakukan oleh IDI harus mencakup penguatan struktur organisasi dan sistem komunikasi yang memungkinkan IDI untuk lebih berperan aktif dalam dialog dengan pemerintah dan lembaga lainnya.
- Pendidikan dan Pengembangan Profesional yang Terbatas: Pengembangan kompetensi profesional harus mengikuti tren global, dan IDI perlu memperbarui cara-cara pelatihan serta program pendidikan yang lebih modern dan relevan.