Pemain yang bagus pada usia muda belum tentu tetap menjadi bagus di fase berikutnya. Namun tanpa pembinaan jangka panjang yang terstruktur dan sistematis, mustahil kita mendapat tim nasional yang berkualitas. Kita hanya mengulang-ulang kesalahan sambil berharap hasil yang luar biasa (mujizat).
Kebijakan pembinaan jangka panjang PSSI hampir tidak terlihat (ini juga terjadi pada cabang olahraga lain). Apakah SSB yang bertebaran sudah terdata? Sudah diakreditasi, dibina dan diawasi? Apakah sudah ada Football academy yang representatif? Bagaimana kompetisi kelompok umur? Belum lagi jika kita bicarakan jumlah dan kualitas pelatih.
Kita dapat mencontoh reformasi Jerman setelah kegagalan Piala Dunia Perancis 1998. Mereka memperbaiki sistem pembinaan atlet jangka panjang, dan hasilnya baru terlihat 10 tahun kemudian. Berikut adalah program mereka, penulis temukan saat berkunjung ke musium Munchen di Allianz Arena tahun 2017.
Perbedaan mendasar pembinaan atlet Indonesia adalah tidak memiliki pembinaan usia dini, karena program pemerintah hanya membina atlet yang sudah jadi (sesuai keadaannya), melalui melalui program SATLAK PRIMA.
Semoga dengan kebijakan baru, pemerintah mulai merubah paradigma pembinaan adhoc (program) dan menjadi pembinaan jangka panjang (sejak usia dini) melalui PB/PP cabang olahraga.Â
Dengan memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Termasuk didalamnya SDM yang berkualitas seperti pelatih, ahli gizi, psikolog, terapis dsb, dan hal tersebut dilakukan bukan sekedar program, namun secara sistematis dibawah suatu institusi (Indonesia Sports Institute).
Kita dapat berubah, jika ada niat dan kesediaan bekerja keras. PASTI BISA!
Kontribusi untuk eyesoccer.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H