Politik identitas dalam kurun waktu belakangan ini menjadi kata yang sangat banyak dibincangkan terkait dengan beragam kepentingan, politik, ekonomi budaya, sastra, dsb. Politik identitas kemudian menjadi sebuah entitas yang sensitif karena berhadapan dengan realitas kemajemukan yang juga mengusung nilai-nilai identitasnya sendiri. Penghargaan terhadap sang liyan berbenturan dengan identitas-identitas tertentu yang dominan dan yang berusaha untuk mengeliminasi kelompok identitas yang dianggap marginal. Pada sisi ini politik identitas menjadi sebuah muara bagi munculnya konflik atau gesekan sosial di masyarakat. Isu intoleransi, kekerasan verbal, fisik, dan isu-isu kelompok mayoritas dan minoritas, dan kalau diiris lebih dalam dapat masuk kepada isu penguatan perbedaan agama, kelompok kepentingan, rasialisme, dsb, adalah sumber-sumber utama dalam menghasilkan represifitas identitas tertentu atau bahkan konflik tertentu. Dalam konteks Amerika, benturan-benturan ini lebih terlihat dalam konteks  pembangunan kesadaran identitas perempuan, kulit hitam dan juga gender. Isu perempuan mewakili kesadaran membangun kesederajatan dan kesamaan hak (equality and equity), isu kulit hitam mewakili kesadaran kesetaraan ras dan antar golongan dalam kedudukan sosial dan politik, dan akhirnya isu gender menempatkan rasa keadilan dalam hal pilihan-pilihan identitas gender.Â
       Perkembangan selanjutnya bahwa isu gender pada akhirnya tidak saja menjadi domain negara-negara Eropa dan Amerika tetapi juga menjadi isu besar di negara-negara global south khususnya ketika menghadapi isu-isu kepemimpinan baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Wacana besar mengenai politik identitas yang terkait dengan isu gender kemudian memasuki kompleksitas pembahasannya karena pada akhirnya hal itu membongkar posisi-posisi sosial politis yang dianggap sudah mapan dan given. Kompleksitas itu terlihat jelas ketika perjumpaan analisa-analisa isu politik identitas perempuan berkelindan juga dengan isu historis yang bersifat kultural dan mitologis, yang  nota bene sering ditemukan sebagai kreasi dan demi untuk kekuasaan laki-laki.
       Konsep kreasi dan kekuasaan laki-laki atas (tubuh) perempuan ini kemudian semakin semarak dengan ketajaman pandang dari Foucault yang membahas mengenai tubuh dan politik dalam konsep biopolitik, biopower dan kepemerintahan. Konsep ini mengiris-iris persoalan bahwa kekuasaan dapat mengatur tubuh manusia melalui kekuasaan. Baik dari level individual sampai pada level populasi (masyarakat). Kedaulatan dalam hal ini tidak lagi menjadi arus utama dalam tata kelola negara tetapi yang terpenting adalah pemerintahan (tata kelola) itu pada dirinya sendiri (demokratis-liberal ) (Foucault & Hurley, 1978; Wallenstein, 2013). Dalam kaitannya dengan isu gender maka kekuasaan, apakah itu negara, maskulinitas, sosial bahkan aturan dan peraturan (kebijakan publik), dapat menjadi cara menguasai sekaligus mengatur tubuh -- dalam hal ini tubuh perempuan. Dalam konteks ini maka identitas perempuan tidak lagi menjadi sebuah identitas yang bebas untuk menentukan dirinya tetapi sering kali diatur dan ditata sesuai dengan kehendak penguasa. Foucault menggambarkan pengendalian tubuh sebagai apa yang disebutnya dengan panopticon. Sebuah usaha mengendalikan dan mengawasi setiap gerak para tahanan dari sebuah menara tanpa di ketahui oleh para tahanan. Gerak tubuh, sikap dan tingkah laku para tahanan dapat di awasi (Foucault, 1979). Pengawasan yang nota bene tersembunyi itu pada dasarnya adalah sebuah kekuatan dan kuasa, tidak disadari tetapi berlangsung sedemikian rupa dan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang umum. Dalam konteks ini ada penguasa (pengawas) dan ada tahanan sebagai objek yang berbeda secara identitas. Pengawas memiliki kuasa atas identitas (tubuh) tahanan, dan tahanan sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan apapun atas dirinya, karena status dan identitasnya berada di dalam kuasa sang pengawas (kontrol kuasa). Ini yang kemudian disebut oleh Faucoult sebagai docile bodies  yaitu tubuh yang taat akibat adanya proses pendisiplinan. Pendisipilinan menjadi sebuah alat bagi kekuasaan untuk mengatur dan mengelola tubuh (Faucoult, 1979). Konsep pendisiplinan ini kemudian berkembang menjadi kekuasaan itu pada dirinya sendiri.
      Konsep docile bodies  dalam perspektif pendisiplinan ini menjadi sebuah muara untuk melihat bagaimana kisah Calong Arang ini berada pada relasi kuasa yang sangat jelas. Kajian literatur  kritis mengenai isu gender dalam kisah Calon Arang ini sebenarnya sudah sangat dalam  diungkapkan oleh Toeti Heraty (2002) dalam prosa Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki: Prosa Lirik. Gusti Ngurah Teguh Arya (dkk) mengkaji secara baik dalam artikel "Tragedi Dalam Buku Prosa Lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki Karya Toeti Heraty" (Saputra et al., 2022). Artikel ini lebih menekankan bagaimana perjalan kisah ini dalam perspektif penghayatan kebudayaan orang Bali yang cenderung ketegangan-ketegangan, antara yang indah dan yang buruk, antara permukaan dan kedalaman, antara kewarasan dan kegilaan sebagai sebuah kesatuan yang holistik. Sementara itu Gadis Arivia lebih kritis melihat prosa dari Toeti Herati sebagai pembelaan yang dalam kepada isu feminisme (Arivia, 2003), yang berbeda dengan kesannya terhadap novel Pramoedya Ananta Toer yang lebih bermuatan politis dan menunjukan sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat universalisme dan kebenaran tunggal, perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat (Calong Arang) (Sambodja, 2011).
      Kisah Calon Arang dalam pendekatan konsep pendisiplinan tubuh ini lebih berfokus pada bagaimana kekuasaan institusi - dalam hal ini kerajaan, Raja (mewakili negara) dan kekuatan spiritual yang nota bene dikuasai oleh laki-laki (mewakili institusi keagamaan/spiritualitas) -- mampu menguasai tubuh (perempuan) yang memiliki identitasnya sendiri. Kekuasan negara dan agama/spiritulitas dapat menjadi kekuatan panopticon yang mengawasi dan memenjarakan identitas tubuh. Dalam hal ini Calon Arang telah menjadi tubuh yang terawasi setelah pernikahan anaknya dengan Mpu Bahula. Calon Arang telah menjadi sosok yang terintimidasi secara diam-diam diawasi segala gerak dan  lakunya bahkan sampai kenilai-nilai privat yang dimilikinya, yaitu usaha untuk mendapatkan rahasia kekuatan yang dimilikinya. Pada akhirnya kekuatannya itu didapati dengan cara yang dianggap wajar karena begitulah narasi yang dibuat agar kekuatan jahat itu dapat dikalahkan. Namun pada sisi lain hal ini bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk membungkam kekuatan dengan kekuasaan yang lebih besar.
      Proses pembungkaman kekuasaan ini  memang tidak dilakukan dengan kekerasan atau sesuatu yang bersifat koersif. Ini juga yang secara definitif dimaknai oleh Foucault bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat negatif. Kekuasaan, menurut Foucault, tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang didominasi atau yang powerful dengan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok (Mudhoffir, 2013). Definisi ini kemudian dalam konteks tertentu membawa orang pada keyakinan bahwa kekuasaan itu sesuatu yang given dan tanpa masalah. Padahal dalam kenyataannya kekuasaan sering kali mendominasi dan memarginalisasi. Apa yang terjadi dengan Calon Arang adalah bahwa kemudian menyadari bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Mpu Baradah dengan penguasaan terhadap kekuatan miliknya yang dicuri. Atas kesadaran terjadinya dominasi melalui kekuasaan ini maka Calon Arang melawan dengan segala kekuatannya. Meski dalam narasi ini diceritakan bahwa Calon Arang mengalami kekalahan. Tetapi kesadaran bahwa ia harus melawan adalah sebuah pertaruhan untuk menunjukan eksistensi yang sesungguhnya dari kekuatan yang dimilikinya. Calon Arang bukan saja tidak dapat berbicara tetapi juga melawan guna menunjukan identitasnya. Sekaligus hal ini memberikan catatan penting untuk Gayatri Chakravorty Spivak yang bertanya dalam essainya "Can Subaltern Speak?"(Riach, 2017) dan ketika Spivak mengritisi  Gilles Deleuze dan Michel yang secara langsung mewakili cara berpikir barat yang mengatakan bahwa kelompok-kelompok marginal tersebut dapat berbicara (Rosalind C.Moris, 2010). Untuk hal itu Spivak  mengatakan bahwa kelompok-kelompok marginal sering kali tidak dapat bersuara. Namun demikian sikap Calon Arang justru keluar dari pertanyaan Spivak,  bahwa ia sudah sampai pada pemahaman bahwa perempuan harus berbicara dan bertindak untuk menunjukan perlawanan terhadap kekuasaan yang mendominasi. Meskipun pada kenyataannya secara naratif Calon Arang harus kalah dengan labeling sebagai perempuan jahat: Kejahatan akan dikalahkan dengan kebaikan. Tetapi dalam perspektif identitas maka upaya perlawanan Calon Arang adalah sebuah perlawanan pergerakan dalam menegakkan harga diri dan identitasnya. Dalam perspektif ini pertanyaannya bukan lagi "Can Subaltern Speak?" tetapi sudah sampai pada "Can Sublatern Exist?". Narasi Calon Arang telah membuktikan bahwa eksistensi dan identitas dirinya telah ditunjukan dengan sebuah perlawanan yang habis-habisan dan penuh kekuatan penuh.Â
      Hal di atas memberikan refleksi yang dalam mengenai identitas politik perempuan di Indonesia saat ini. Perempuan Indonesia dalam kontestasi kepemimpinan publik tidak pernah dilepaskan dari analisa terhadap nilai-nilai privat yang perempuan miliki. Hal-hal privatisasi ini diangkat sedemikian rupa untuk menunjukan bahwa hal itu tidak akan mengganggu jalannya kepemimpinan yang akan dilakukan oleh perempuan. Analisa-analisa beberapa penelitian menunjukan dengan jelas bahwa ranah-ranah privat ini sering kali dijadikan alat kampanye dari pesaing-pesaing politik perempuan untuk menemukan titik-titik kelemahan kepemimpinan perempuan. Kajian dari  Azizah (Azizah, N. 2019) mengenai politisasi penggunaan hijab oleh calon-calon Kepala Daerah perempuan di Indonesia meunjukan bahwa ada ruang-ruang privat dari perempuan (hijab) yang dapat dieksplorasi (tepatnya diekspolitasi) menjadi bagian dari isu-isu politik kepemimpinan (daerah). Asnath Natar dalam kajiannya mengenai kepemimpinan perempuan dalam bidang publik juga menjelaskan bagaimana ranah-ranah privat dari identitas perempuan tergerus atas nama budaya dan bahkan juga agama. Kepemimpinan perempuan sebagai seorang pemimpin umat di jemaat Gereja sering kali tergerus dengan nilai-nilai budaya partriakal yang kuat sehingga kepemimpinan perempuan menjadi begitu sangat tertantang. Seringkali seorang perempuan yang memimpin sebuah komunitas keagamaan (Gereja) menghadapi tantangan terberat justru bukan pada keberadaannya bersama umat tetapi justru menghadapi nilai-nilai domestik, kultural yang ada di sekitarnya (urusan suami yang tidak memahami tugas sang istri yang adalah seorang Pendeta, urusan domestik yang dibebankan sepenuhnya kepada perempuan yang menjabat sebagai seorang Pendeta jemaat, dll). Dengan demikian pelemahan kepemimpinan perempuan justru terjadi dalam konteks yang paling dekat dengan dirinya dan dalam konteks identitas yang paling privat disekitarnya (Natar, 2019).
      Bahkan tafsir-tafsir keagamaan juga sering menghasilkan posisi perempuan dalam kepemimpinan publik/politik. Ada tafsir-tafsir keagamaan yang bersifat positif terhadap kepemimpinan perempuan ada juga yang menolak secara tegas kepemimpinan perempuan tersebut. Hal yang menarik adalah bahwa tafsir terhadap kepemimpinan perempuan itu justru dirumuskan hampir sebagai besar oleh cara berpikir laki-laki (Sari, 2020). Dalam konteks cara berpikir laki-laki ini maka posisi tafsir perempuan sering kali tidak mendapat tempat atau diperhatikan apalagi diterapkan/aplikasi.
      Dalam banyak hal posisi perempun di atas akan tidak mudah dan sering justru menghasilkan posisi yang pasif seperti yang dikatakan oleh Spivak "Can Subaltern Speak?". Perempuan - dalam hal ini dalam posisi subaltern - dalam pandangan Spivak adalah komunitas yang sering tidak didengarkan suaranya. Namun dalam banyak hal posisi ini mendatangkan perlawanan untuk menunjukan identitas dan eksistensi perempuan. Sehingga pertanyaan "Can Subalatern Exist" adalah sebuah pergerakan yang harus terus dilakukan untuk mendukung represifitas yang terjadi kepada kaum perempuan, khususnya dalam hal kepemimpinan. Perjuangan Calong Arang "melawan" dengan kekuatan yang besar dan "berdarah-darah" hendak menunjukan bahwa perempuan bukan saja dapat berbicara tetapi dapat bergerak untuk melawan demi menunjukan identitasnya. Meski pada akhirnya harus kalah dengan kekuatan laki-laki yang sistematis (kekuatan Mpu Baradah yang ditopang/didukung dengan kekuatan struktur kekuasaan -- Raja Airlangga)
      Kajian dari Tezcur mengenai keterlibatan perempuan sebagai "women fighters" dalam pertempuran-pertempuran di beberapa negara seperti Algeria, Colombia, El Salvador, Eritrea, Nepal, Nicaragua, Sierra Leone beberapa dekade ini menunjukan bahwa identitas perempuan sebagai pejuang dinampakan melalui gerakan yang memberikan perlawanan terhadap ketidakadilan.  Apakah mereka juga merupakan korban atau dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar? Bisa jadi demikian. Perempuan dalam hal ini bisa dikorbankan untuk kepentingan perjuangan. Namun menarik membaca kajian Tezcur ketika memberikan salah satu alasan penting  mengapa perempuan-perempuan ini mau terlibat sebagai "women fighters". Alasannya yang diberikan adalah karena mereka ingin membalas dendam kepada para laki-laki yang memperkosa perempuan-perempuan ini selama masa rekruitmen menjadi "women fighters". Jadi tampak bahwa perjuangan kaum perempuan pejuang ini buka saja menghadapi musuh bersama secara nasional, tetapi juga ada musuh bersama secara domestik yang mereka sedang perjuangkan yaitu laki-laki pemerkosa ang ditopang oleh struktur-struktur kekuasaan (militerisme) (Tezcr, 2020).
Simpulan