Dekade pasca konferensi Stockholm (1972) ditandai dengan berbagai macam bencana yang mencemari lingkungan, seperti bencana kebocoran dioksin di Seveso Italia (1976), tumpahan minyak Amoco Cadiz (1978), krisis pembangkit listrik di Three Mile Islam Pennsylvania (1979), kebocoran gas isosianat di Bhopal India (1984), kebakaran gudang di Swiss yang memuat 30 ton bahan kimia dan mengalir ke sungai Rhine (1986). Serta yang paling tragis adalah ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir Chercnobyl di Ukraina (1986) (Elliott, 2004). Ini semua memberikan perhatian bukan saja pemerintah sebagai penentu kebijakan lingkungan tetapi juga pentingnya peran serta masyarakat (publik) dalam mengatasi isu-isu lingkungan. Oleh sebab itu dalam konferensi di Rio de Jeneiro di Brazil peserta konferensi bukan saja diwakili oleh delegasi-delegasi pemerintah tetapi juga perwakilan masyarakat melalui NGO/LSM yang terlibat secara langsung dalam hal penanganan lingkungan. Peserta delegasi nasional berjumlah 178 negara dan 1400 NGO/LSM yang terakreditasi, peserta 30.000 masyarakat dapat menyaksikan konferensi ini melalui kehadiran di Flamengo Park. Hasil konferensi ini memberikan penekanan pentingnya peran publik. Ada 27 prinsip yang disepakati dari konferensi ini yang secara umum menunjukan peran penting kesederajatan kerjasama global melalui kerja sama antar negara (jadi bukan lagi soal negara maju dan negara berkembang), dan juga bersama dengan peran serta masyarakat (NGO/LSM, perempuan, masyarakat asli-indigenous people) (Elliott, 2004).
      Melalui konferensi ini tampak pergeseran paradigma pembangunan lingkungan bergeser pada isu-isu lingkungan (bioenvironmentalist) dan juga menekankan pada peran publik sebagai penentu keberlangsungan pembangunan (lingkungan). Meski demikian mengapa kerusakan lingkungan tetap terjadi begitu masif setelahnya?
        Sejak tahun 2008 istilah green economy muncul dalam perdebatan-perdebatan mengenai lingkungan. Bermula dari kritik terhadap konsep pertumbuhan yang dianggap sebagai penyebab utama masalah yang ada di dunia ini (Robin Hahnel, 2011). Memang awalnya hal ini bermula dalam domain percakapan ekonomi yang akibat konsep pertumbuhan mengabaikan aspek-aspek lingkungan. Demi pertumbuhan banyak sekali eksploitasi terhadap alam. Pembangunan sebagai parameter kemajuan sebuah negara telah menyebabkan eksploitasi yang besar terhadap bumi. Pembukaan lahan-lahan baru untuk pembangunan dengan cara menebang hutan, alih lahan dari kawaan hijau menjadi kawasan perumahan, bisnis, membangun bangunan-bangunan besar, dsb., telah menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan baik dalam skala kecil maupun besar. Konteks ini menjadi isu yang muncul dalam perdebatan-perdebatan ekologi dan ekonomi. Namun demikian persoalannya tdak hanya sampai di sana, persoalan ekologis tersebut  menyebabkan munculnya persoalan ketidakadilan. Pada sisi inilah kemudian percakapan ekonomi tidak saja terkait dengan ekologi semata tetapi juga sudah menyangkut hal-hal yag bersifat keadilan. Pada konteks ini konsep green economy menjadi percakapan yang berfokus pada kritik mengenai lingkungan dalam perspektif keadilan. Oleh sebab itu, konsep environmental justice menjadi konsern dalam pendekatan green economy karena menyangkut keadilan bagi sesama - human-human - tetapi juga human non human (Baxter, 2005). Dalam arti bahwa krisis ekologis terjadi karena adanya ketidakadilan terhadap alam dan lingkungannya. Eksploitasi yang berlebihan kepada alam dapat dikatakan sebagai tindakan melakukan distribusi ketidakadilan (Schlosberg, 2007). Â
      Cato, dalam studinya di Inggris (Molly Scott Cato, 2009), memaparkan bahwa isu ketidakadilan di Inggris, dan tentunya di belahan dunia lainya, bukan saja terkait dengan ketidakadilan terhadap manusia tetapi juga terhadap lingkungan. Gap orang kaya yang menguasai hampir sebagian besar sumber-sumber ekonomi di Inggris telah memperparah kesenjangan dengan orang miskin, dan mengakibatkan juga tingkat kesejahteraan yang sangat berbeda. Isu-isu ketidakadilan gender yang semakin meningkat dan mengakibatkan persoalan-persoalan sosial. Pada sisi lain usaha  meningkatkan perekonomian dengan industri sebagai fokus utamanya telah menumbuhkan kompleksitas persoalan lingkungan yang sangat berat di Inggris. Dengan demikian bagi Cato persoalan ekonomi yang dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan manusia, pada kenyataannya meghasilkan persoalan-persoalan yang justru sangat kompkes pelenyelesaiannya. Oleh karena itu Cato mengritik bahwa pendekatan formal ekonomi sudah seharusnya dievaluasi dan harus berani keluar dari formalitas pendekatan yang selama ini dilekatkan kepadanya. Salah satu pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan menjadikan lingkungan sebagai bagian yang penting dalam pengembangan akademik ilmu ekonomi.Â
       Ilmu ekonomi konvensional menganggap isu lingkungan sebagai sebuah 'eksternalitas', sesuatu yang berada di luar perhatiannya. Hal ini karen banyak persoalan lingkungan, sosial, tidak dapat terukur secar tepat sesuai bidang ilmu ekonomi yang mengharuskan adanya akurasi pengukuran. Namun demikian, para ekonom lingkungan meyakinkan bahwa penting untuk menerima bahwa beberapa aspek kehidupan, seperti nilai sosial atau spiritual (dimana lingkungan begitu dekat di dalamnya) yang tidak dapat diukur secara kuantitatif (Molly Scott Cato, 2009). Oleh karenanya konsep green economy menjadi hal yang penting untuk diutamakan saat ini. Â
Â
 Green Hermeneutics: Membaca Ulang Kejadian 4:1-6
       Sejak Lynn White, Jr. 'The Historical Roots of our Ecologic Crisis' memberikan catatan kritisnya kepada Barat, dan pandangan dunia Kristen serta kisah-kisah penciptaannya khususnya dalam memperkenalkan landasan ideologis yang melegitimasi eksploitasi lingkungan, maka sejak saat itu terdapat banyak sekali reaksi-reaksi para teolog yang ingin membela pandangan Alkitab tentang lingkungan -- khususnya dalam konteks Kejadian Pasal 1(David G Horrell, n.d.). White dalam tesisnya mengatakan bahwa dengan merebut kembali kedigdayaan keilmuan dari tangan Islam, kemajuan teknologi di Barat di abad ke-13 mencapai kemajuan yang begitu pesat. Dengan mengambil contoh sederhana mengenai proses membajak sawah, White mengatakan bahwa dengan adanya penemuan teknologi mata bajak baru, para petani di Eropa Utara telah melakukan aktifitas pembajakan sawah melebihi kapasitas untuk membajak sawah yang biasanya hanya dilakukan oleh dua ekor sapi.
Â
... para petani tertentu di utara menggunakan jenis bajak yang benar-benar baru, dilengkapi dengan pisau vertikal untuk memotong garis alur, dan mata bajak horizontal untuk memotong di bawah tanah, dan papan cetakan untuk membaliknya. Gesekan bajak ini dengan tanah begitu besar sehingga biasanya dibutuhkan bukan dua melainkan delapan ekor lembu. Ia menyerang lahan dengan kekerasan sedemikian rupa sehingga pembajakan silang tidak diperlukan, dan ladang cenderung berbentuk garis-garis Panjang (Lynn White, 1967).
      Selanjutnya White mengatakan:
Hubungan manusia dengan tanah mengalami perubahan besar. Dahulu manusia adalah bagian dari alam; sekarang manusia adalah pengeksploitasi alam. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang para petaninya mengembangkan alat pertanian serupa. Apakah suatu kebetulan bahwa teknologi modern, dengan kekejamannya terhadap alam, sebagian besar diproduksi oleh keturunan para petani di Eropa utara?
      Pada sisi lain White mengritik dengan tajam bagaimana peran agama Kristen Barat yang dianggap sangat bersifat antroposentrik dan menjadikan alam hanya sebagai objek yang dikuasai. Penamaan tumbuhan, hewan, dan karya cipta Allah yang lain adalah bentuk dominasi munusia atas alam semesta. Dominasi ini juga berkait erat dengan alam semesta yang dulunya dianggap memilik roh penjaganya tetapi dengan kehadrian Kekristenan hal itu dihilangkan dan diganti dengan modernisasi dan teknologi barat yang dianggap lebih aktual (Lynn White, 1967).