Dari Tanah Kepada Allah (Kejadian 4:1-6): Sebuah Pendekatan Green Hermeneutics[1]
Â
Pendahuluan
       Percakapan mengenai tanah adalah sesuatu yang sangat menarik. Percakapannya bisa dilihat dalam berbagai perspektif, baik itu secara sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga hal-hal yang sangat kontemporer sekalipun. Bahkan Alkitab sejak awal sudah menyempaikan narasi yang sangat penting mengenai tanah, khususnya dalam Kitab Kejadian 4:1-6.
      Tulisan sederhana ini ingin memberikan refkleksi terhadap penafsiran yang lebih bersifat ekologis terhadap teks Kejadian 4:1-6, dengan alasan bahwa teks-teks seperti ini sering kali disalahpahami bahwa tanah sebagai sebuah eksistensi menghasilkan produktifitas yang kualitasnya lebih rendah dari produktifitas ciptaan Allah lainya. Konsep ini secara sosial menghasilkan pemahaman mengenai tanah dengan semua idenititas yang terkait dengannya seolah-olah lebih rendah (tidak berkualitas). Oleh sebab itu salah satu alternatif pendekatan penafsiran yang penulis tawarkan dalam memahami teks ini secara lebih adil (perspektif environmental justice) adalah melalui kaca mata green perspective. Green perspective adalah sebuah pendekatan yang secara sederhana memaknai bahwa kita harus bersikap adil terhadap hal-hal yang bersifat ekologis, di mana alam, salah satunya adalah tanah, merupakan unsur yang penting didalamnya. Â
Â
Green Economy: Pintu Masuk Menuju Kebijakan LingkunganÂ
       Bumi semakin tidak nyaman untuk ditempati. Mungkin kata yang paling mencengangkan akhir-akhir ini, karena secara mengejutkan juga dituliskan oleh David Wallace-Wells dalam bukunya yang berjudul "The Uninhabitable Earth", yang sangat populer akhir-akhir ini (David Wallace - Wells, 2019). Sejak awal manusia merasa bahwa alam telah memberikan kelimpahan yang besar untuk digunakan bagi manusia. Hal ini kemudian tidak disadari telah menjadikan alam sebagai objek eksploitasi yang berlebihan. Kesadaran krisis lingkungan global itu kemudian berusaha diatasi dengan mengusahakan pertemuan global yang pertama mengenai lingkungan yaitu di Stockholm, Swedia, yang dikenal menghasilkan Deklarasi Stockholm pada tahun 1972 (Sohn, 1973). Penegasan dari deklarasi ini adalah salah satunya menempatkan pentingnya sustainable development dalam menata kelola lingkungan di dunia.
       Sejak konferensi ini dimulai maka percakapan mengenai lingkungan dalam perspektif sustainable development  terus meningkat, baik secara lokal (negara) maupun global (antar negara) (Ogryzek, 2023; Dotsenko et al., 2021). Konferensi Stockholm menghasilkan 26 prinsip-prinsip dasar pencegahan kritis lingkungan, yang sebagai besar masih didasarkan pada pentingnya peran negara dalam mengatasi degradasi lingkungan. Selain itu juga sorotan yang tajam kepada negara-negara berkembang yang 'dituduh' sebagai penyebab krisis lingkungan global. Pendekatan ini masih sangat berorientasi pada paradigma market liberal (pembangunan/growth), di mana semakin majunya sebuah negara maka semakin dapat mengurangi kerusakan lingkungan (Jennifer Clapp and Peter Dauvergne, 2005). Oleh sebab itu poin 9 -12 dari prinsip Stockholm menyatakan perlunya bantuan-bantuan yang signifikan dalam bentuk teknologi dan pengetahuan kepada negara-negara berkembang untuk dapat meningkatkan lingkungan yang lebih baik paradigma yang sangat berorientasi pada pembangunan (market liberal) dan peran (institutionalist) negara (politik) yang begitu kuat menyebabkan perbedaan-perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam menjalankan prinsip-prinsip yang disepakati bersama.
       Meskipun terdapat banyak kritik dari hasil konferensi Stockholm, namun dapat dikatakan bahwa keberhasilan dari konferensi ini adalah bahwa konferensi ini dapat menghadirkan pemerintah-pemerintah berbagai negara untuk memperdebatkan masalah krisis lingkungan dan memberikan dasar kuat bagi perkembangan hukum lingkungan internasional.
       Tetapi hal itu hanyalah keberhasilan secara politis bukan keberhasilan mencegah kerusakan alam yang semakin parah. Hal itu dapat dilihat hingga kini, setelah 51 tahun pertemuan tersebut tampak bahwa persoalan lingkungan tidak mendapatkan kemajuan yang signifikan bahkan mengalami degradasi yang signifikan. Apakah peran negara, dalam hal ini kebijakan-kebijakan publik, terkait dengan kebijakan lingkungan dapat dikatakan gagal? Paradigma kebijakan yang berorientasi market liberal dan institutionalist ternyata belum mampu memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaian-penyelesaian lingkungan.