Herpes Genitalis
Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes simplex virus (HSV) atau Herpes virus hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun demikian dapat jugs disebabkan oleh HSV-1 (+ 16,1 %) akibat hubungan kelamin secara orogenital atau penularan melalui tangan. ( Sjaiful Fahmi Daili dan Jubianto Judanarso, 2005 )
Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur lima tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun humoral HSV-1 dan HSV-2.
Dari data yang dikumpulkan WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-2 rata-rata barn terbentuk -setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal
Bila seseorang terjangkit HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode Iinfeksi primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi/ replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang lugs dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis), clan berdiam di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens: 1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke Bel epitel kulit yang dipersarafinya dan disana akan mengalami replikasi dan multiÂplikasi serta menimbulkan lesi. 2. Virus secara terns menerus dilepasÂkan ke Bel-Bel epitel dan adanya faktor pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens. Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan HSV sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV-2 adalah asimtomatis. Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Tanga infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut; tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama clan meninggalkan jaringan parut. Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di daerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Di camping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan retensi urin. Hal lain yang menyebabkan retensi urin adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis dan raclikulitis.Infeksi rekurens dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik clan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada prang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalia sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV- lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan asimptomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1.Tempat predileksi pada prig biasanya di preputium, glans' penis, batang penis, dapat juga di uretra clan daerah anal (pada homoseks), sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus aginae, serviks; sedangkan pada daerah perianal, bokong dan mom pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara teratur.Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karena melalui placenta virus dapat sampai kesirkulasi fetal Berta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%. separuh dari yang hidup menderita carat neurologic atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis. mikrosefali, hidrosefali, koroidoretinitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Di Amerika Serikat frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan bila pada trimester 11, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum atau pasca partum.Herpes genitalis merupakan satu masalah pada penderita dengan imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang ditemukan cukup progresif berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital. Disamping itu lesi juga lebih luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada keadaan imunodefisiensi yang tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang lebih sering dengan penyembuhan yang lebih lama.( Sjaiful Fahmi Daili dan Jubianto Judanarso, 2005 )
Kandilomata Akuminata
Kondilomata akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa..( Farida Zubier, 2005 )
VPH adalah virus DNA yang merupakan virus epiteliotropik (menginfeksi epitel) dan tergolong dalam famili Papovaviridae. Dengan menggunakan cara hibridisasi DNA, sampai saat ini telah dapat diisolasi lebih dari 100 tipe VPH, namun yang dapat menimbulkan KA sekitar 23 tipe. VPH belum dapat dibiak dalam kultur sel (in vitro) schingga penelitian terhadap virus tersebut sangat terbatas.
Telah diketahui bahwa ada hubungan antara infeksi VPH tipe tertentu pada genital dengan tedadinya karsinoma serviks. Berdasarkan kemungkinan terjadinya displasia epitel dan keganasan maka VPH dibagi menjadi VPH yang mempunyai risiko rendah (low risk) dan VPH yang mempunyai risiko tinggi (high risk). VPH tipe 6 dan tipe 11 paling sering ditemukan pada KA yang eksofitik dan pada displasi derajat rendah (low risk). Sedangkan VPH tipe 16 dan 18 sering ditemukan pada displasia derajat tinggi dan keganasan (high risk) (Farida Zubier, 2005 )
Masa inkubasi KA berlangsung antara 1 - 8 bulan (rata-rata 2-3 bulan). VPH masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulitsehingga KA sering timbul di daerah yang mudah mengalami trauma pada saat hubungan seksual.
Pada pria tempat yang sering terkena adalah glans penis, sulkus koronarius, frenulum dan batang penis, sedang pada wanita adalah lburchette posterior, vestibulum.
Untuk kepentingan klinis maka KA dibagi dalam 3 bentuk yaitu:
·Bentuk akuminata.
·Bentuk papul.
·Bentuk datar (flat).
Meskipun demikian perlu diingat bahwa tidak ada batasan yang jelas antara ke tiga bentuk tadi dan sering pula dijumpai bentuk-bentuk peralihan.
Bentuk akuminata, terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. terlihat vegetasi bertangkai dengan permukaan yang berjonjot-jonjot seperti jari. Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih besar sehingga tampak seperti kembang kol.
Bentuk papul,lesi bentuk papul biasanya didapati di daerah dengan keratinisasi sempuma, seperti batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal dan perineum. Kelainan berupa papul dengan perinukaan.yang halu,§ dan licin, multipel clan tersebar secara diskret.
Bentuk datar ,secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama sekali tidak tampak dengan mata telanjang (infeksi subklinis), dan bare terlihat setelah dilakukan tes asam asetat. Dalam hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong. Selain ketiga bentuk klinis di atas, dijumpai pula bentuk klinis lain yang telah diketahui berhubungan dengan keganasan pada genitalia, yaitu:
Giant Candiloma Buschke-Lowenstein, bentuk ini diklasifikasikan sebagai karsinoma sel skuamosa dengan keganasan derajat rendah. Hubungan antara KA dengan giant condyloma diketahui dengan ditemukannya VPH tipe 6 dan tipe 11. Lokasi lesi yang paling wring adalah pads penis clan kadang-kadang vulva dan anus. Klinis tampak sebagai kondiloma yang besar, bersifat invasif lokal dan tidak bermetastasis. Secara histologic giant condyloma tidak berbeda dengan kondilomata akuminata. Giant condyloma ini umumnya refrakter terhadap pengobatan.
Papulosis Bowenoid, secara klinis berupa papul likenoid berwama coklat kemerahan dan dapat berkonfluens menjadi plakat. Ada pula lesi yang berbentuk makula eritematosa dan lesi yang mirip leukoplakia atau lesi subklinis. Umumnya lesi multipel dan kadang-kadang berpigmentasi. Berbeda dengan KA, permukaan lesi papulosis Bowenoid biasanya halus atau hanya sedikit papilomatosa. Gambaran histopatologik mirip penyakit Bowen dengan inti yang berkelompok, sel raksasa diskeratotik dan sebagian mitotik atipik. Dalam pedalanan penyakitnya, papulosis Bowenoid jarang menjadi ganas dan cenderung untuk regresi spontan.
Disarankan agar jangan terlalu banyak jajan diluar sana, supaya terhindar dari penyakit seksual yang menjijikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H