Pencarian itu berakhir ketika Mangga Dua mulai digusur. Satu per satu makam berisi tengkorak manusia dibongkar untuk kemudian dipindahkan isinya. Itu terjadi bila ahli waris masih ada dan peduli pada yang mati. Bila tidak ada, saya tidak tahu nasib tengkorak-tengkorak itu. Mata kecil saya hanya bisa menyaksikan prosesi tersebut. Tanpa komentar apa-apa.
Belakangan, saya baru sadar buku sJsJ adalah fiksi belaka. Kesadaran ini muncul ketika saya beranjak remaja dan bisa membedakan buku fiksi dan nonfiksi. Menurut Wikipedia, Merari Siregar menulis sJsJ dengan mengadaptasi Jan Smees buah karya Justus van Maurik. Tak masalah buat saya. Saduran atau bukan, yang pasti, buku si Jamin dan si Johan berhasil membuat saya tidak takut pada kuburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H