Mohon tunggu...
dharu suwandono
dharu suwandono Mohon Tunggu... Guru - ora penting dadi opo-opo, nanging dadio opo-opo sing manfaati

no profile with me, but many profile with us

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penunggang Gelap Konstitusi

2 Desember 2024   08:25 Diperbarui: 2 Desember 2024   09:09 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
di edit dari dark rider_Freepik-cartoonstock 

Perilaku-perilaku tersebut sangat berbahaya jika dimiliki oleh penguasa, yakni para pejabat-pejabat yang memiliki kewenangan membuat peraturan perundangan, untuk dapat diselewengkan dengan membungkus/mengklamufasekan tindakan jahat dalam ruang-ruang yang memang dihadirkan atas lahirnya produk hukum.

  • The Buggler of Legal Loophole

Legal Loophole atau celah-celah hukum, dan  buggler adalah istilah sederhana yang seringkali dapat digunakan bagi seseorang ketika dapat membaca atau menemukan kesalahan (perbuatan melanggar hukum), akan tetapi tidak terbaca sebagai sebuah pelanggaran di mata hukum secara substansial (tertulis).

Para penunggang gelap kostitusi seringkali memanfaatkan celah ini sebagai jalan keluar atau jalan masuk tersembunyi yang memang sudah diprediksi untuk digunakan sebagai peluang melakukan tindakan. Dan pada umumnya pelaku-pelaku ini muncul dari mereka yang memang benar-benar ahli di bidang hukum atau praktisi hukum yang sengaja bermain hukum untuk kepentingan tertentu.

Berbeda dengan bentuk kejadian sebelumnya, bahwa lahirnya produk hukumnya yang memang bermasalah. Legal loophole ditengarahi sebagai pelaksanaan dari produk hukum yang harus bisa ditemukan celah produk hukum itu sendiri untuk dapat bermasalah atau bisa dibenturkan dengan produk hukum yang sama atau ter-strata di atasnya, seperti  UUD 1945, sehingga dapat diutak-atik sesuai selera kepentingan.

Memang hal tersebut bisa dilakukan secara sah, seperti pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi menjaga integritas dari produk hukum itu sendiri agar terhindar dari jeratan-jeratan kepentingan harus bisa lebih diutamakan dengan pertimbangan kajian-kajian yang semestinya tidak premature, khususnya dari pandangan hukum secara moral dan intelektual.

  • Permainan kacamata Tafsir

Membaca, mentelaah dan melaksanakan sebuah bahasa dari produk hukum tentu saja tak sama dengan menyusun dan sekaligus mensepakati produk hukum tersebut. Menyusun produk hukum secara awam pastinya berpandangan bahwa, kaidah-kaidah yang baik harus dihadirkan dan disepakati sebagai pedoman untuk tatanan kehidupan yang lebih baik.

Kacamata tersebut tidak berlaku lurus saat seseorang harus memandang hukum sebagai sebuah batas untuk membatasi "mengekang" hak individual atau kelompok, dimana hak-hak tersebut cenderung telah ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Sehingga dari kacamata itu pula lahirnya sebuah motif jahat untuk meng"akali" konstitusi dengan memunculkan tafsir agar konstitusi dapat berlaku lain bagi kepentingan tertentu.

Berlakunya tafsir konstitusi yang tidak obyektif inilah, cenderung dimainkan oleh oknum-oknum yang memang bergelut di ranah hukum dan membuat hukum seperti pedang bermata tajam pada orang yang awam akan hukum. Dari konteks itulah menjadikan hukum terlihat selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Dari sudut lain, kacamata tafsir juga bisa digunakan untuk lepas dari pandangan-pandangan negative yang telah disangkakan. Hal tersebut seringkali dilakukan oleh elit-elit politik untuk lepas dari jerat atas tindakan yang dianggap tidak sesuai dan berlawanan dalam berpolitik, atau sebaliknya. Sehingga disini fungsi hukum seperti mainan praktis yang bisa di bolak-balik untuk dapat difungsikan sesuai kepentingan politik.

  • Penggiringan opini dan normalisasi

Berlanjut dari permainan tafsir, adalah upaya normalisasi dengan melakukan penggiringan opini dari sesuatu hal yang semestinya patut untuk diawasi, dicegah atau ditindak secara konstitusional menjadi sebuah keadaan normal yang baik-baik saja.

Upaya-upaya tersebut sebenarnya telah umum di kalangan para elit politik. Karena sebenarnya hal tersebut menjadi sebuah kewajaran bagi mereka untuk berkelit dan membela atas pandangan dan tindakan selama berpolitik, walaupun ada kalanya pada kalangan tertentu, seperti akademisi dan budayawan juga memberikan sorot yang tidak etis atas upaya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun