Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo didapuk mencadi capres pada hari yang sama. Anies dideklarasikan NasDem, sementara Ganjar dideklarasikan oleh PSI. Akan tetapi, meskipun dideklarasikan di hari yang sama, dua tokoh yang kerap diasosiakan netizen sebagai kutub yang berlawanan ini mendapat sentimen yang berbeda.
Pencapresan Anies oleh NasDem dianggap netizen platform "burung biru"; meskipun lebih banyak akun-akun anonim, sebagai langkah yang terburu-buru. Pencapresan Anies "dituding" tidak peka atas situasi duka yang dialami pecinta sepak bola tanah air. Entah kenapa, narasi seragam ini dialamatkan ke Anies.
Tapi ketika PSI mengumumkan nama Gubernur Jawa Tengah ini sebagai calon yang mereka usung di 2024, yang muncul malah puja-puji dari akun anonim.
Apakah media sosial begitu ramah pada Ganjar? Atau, media sosial merupakan play ground buzzer untuk menenggelamkan Anies lewat narasi-narasi kebencian?
PSI "Matikan" Langkah Ganjar?
Dengan modal 1,8 persen di Pemilu 2019, PSI memutuskan paket capres-cawapres untuk Pemilu 2024 mendatang. Lewat Zoom, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, menyatakan mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Yenny Wahid sebagai capres dan cawapres.
Langkah "terburu-buru" PSI usai NasDem mengumumkan Anies sebagai capres tentu membawa implikasi tersendiri bagi Ganjar ke depan. Situasi ini bisa membuat hubungan PSI-PDIP kembali memanas, seperti halnya PDIP yang gregetan pada 2017, lantaran PSI kerap mepet Jokowi. Kala itu, Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno menyebut PSI sebagai partai anak muda yang belum teruji.
Jikalah tujuan PSI mendeklrasikan Ganjar sebagai capres agar PDIP juga mengikuti skema yang sama, tentu ini sebuah pandangan yang salah. Sama-sama kita ketahui, PDIP sebagai partai yang lama melintang di kancah politik tanah air tentu memiliki standar integritas sendiri, tidak tunduk begitu saja pada intervensi dari luar. Apalagi yang mencoba "mengintervensinya" partai baru dan partai yang tidak punya suara di parlemen. Mustahil.
Sederhanya gini, masa anak kecil ngatur-ngatur orang dewasa. Lagi pula, jika PDIP terpaksa mengusung Ganjar, tentu PDIP kehilangan elektoralnya di Pemilu 2024, karena PSI sudah terlanjur menjadi partai yang pertama mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Sudahlah kadernya dibajak, elektoralnya pun berpotensi digerus.
Atau, seandainya pencapresan Ganjar dijadikan strategi jualan ke partai-partai koalisi yang belum punya paslon (di luar PDIP), tentu dengan paket Yenny Wahid sebagai cawapres menjadi sebuah penawaran yang sulit diterima.
Misalnya, ditawarkan ke koalisi Gerindra-PKB. Paket Ganjar-Yenny tentunya sedikit menyinggung ego pimpinan dua partai tersebut. Ya sama tahulah, di kubu Gerindra, suara dan dorongan internal untuk Prabowo kembali maju sebagai capres 2024 masih begitu tinggi. Sedangkan dengan PKB, kita sama tahu, perang dingin keluarga Abdurahman Wahid dan Cak Imin pasca konflik internal PKB 2008.
Jika tidak dengan Gerindra-PKB, tapi dengan koalisi Golkar-PAN-PPP? Skenario peta jalan ini juga terlihat buntu. Pasalnya di poros itu juga punya jagonya masing-masing. Setidaknya ada dua tokoh parpol yang juga punya ambisi untuk jadi RI 1, atau minimal RI 2, yaitu Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan. Apakah mungkin, PSI akan mendepak Yenny Wahid guna mengakomodir kepentingan politik Airlangga/Zulkifli? Depak Yenny sama saja artinya "melepehkan" suara warga Nahdliyin.
Keterburu-buruan PSI dalam menetapkan dan mempaketkan Ganjar-Yenny sejatinya membuat Ganjar "patah kaki". Jikalah PSI ingin bersabar, bekerja secara underground, "merekayasa" opini di media sosial, memupuk elektabilitas Ganjar, dan memantik gerakan-gerakan civil society untuk mendukung Ganjar seperti halnya kemunculan Jokowi di 2012, tentulah perlahan tapi pasti dengan sendirinya PDIP akan mengusung Ganjar menjadi capres.
Kini, PDIP tentu tidak lagi melihat gerakan yang mendukung Ganjar sebagai gerakan arus bawah, seperti halnya PDIP yang berpersepsi pada Jokowi di 2012 dan akhirnya merelakan ambisi Megawati menjadi presiden dengan memberikan tiket kepada Jokowi. Tindak tanduk Ganjar ke depan justru dinilai sebagai langkah-langkah politik untuk "mengintervensi" internal PDIP dengan mengatasnamakan kehendak rakyat. Sebagai partai yang berdaulat, tentu PDIP tidak akan mudah digoyah begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H