Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyikapi banjir di Bumi Borneo yang tak kunjung surut. Diketahui banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sudah berlangsung selama empat pekan. Bahkan dari data yang dihimpun, sejak Januari hingga November 2021, semua provinsi di Kalimantan telah mendapatkan 'jatah' banjir besar.
Presiden Jokowi mengatakan, 'enggannya' banjir surut diakibatkan kerusakan lingkungan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. Hal itu menurut Jokowi mengakibatkan Sungai Kapuas; sungai terpanjang di Kalimantan bahkan di Indonesia, meluap saat terjadi hujan lebat. Pernyataan Jokowi ini bertolak belakang dengan pernyataannya dalam menyikapi banjir di Kalimantan Selatan pada awal tahun lalu. Saat itu, orang nomor satu di republik ini menuding curah hujan yang terlalu tinggi sebagai biang kerok kesengsaraan rakyat.
Pernyataan Presiden Jokowi ini seolah memisahkan masalah banjir di Kalimantan antara akibat kerusakan lingkungan (deforestasi), dan peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim (climate change). Padahal banjir yang diakibatkan oleh perubahan iklim salah satunya diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Terlepas dari dua pernyataan Presiden Jokowi dalam menyikapi banjir di Kalimantan, tak ada pembenaran yang bisa diterima atas realitas ini.
Selain tak bisa diterima sebagai pembenaran, pernyataan Presiden Jokowi juga terbantahkan oleh data yang disampaikan oleh LBH Palangka Raya. Menurut Aryo Nugroho Waluyo, Ketua LBH Palangka Raya, banjir semakin mengganas sejak 2015, sejak proyek Food Estate digalakkan pemerintah. Sebagai perbandingan, pada 2020 terdapat 9 kecamatan terdampak banjir Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan pada 2021 meningkat menjadi 12 kecamatan.
Fakta menarik lainnya juga diungkap oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang dengan terang mengatakan tahun 2020 merupakan "Tahun Ugal-Ugalan Rezim Oligarki Tambang". Ya, tahun di mana satu tahun setelahnya terjadi banjir bandang terbesar di Kalimantan setelah 50 tahun terakhir.
Pelik Jokowi Dengan Banjir
Jokowi memang punya masalah pelik terkait urusan banjir. Sebelum menjadi RI 1, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dihadapkan dengan urusan banjir di Ibu Kota. Namun untunglah, strategi merangsek gorong-gorong ala Jokowi bisa menyelamatkannya. Jokowi dengan tenang mengatakan permasalahan banjir Ibu Kota bisa diselesaikan jika dirinya menjadi Presiden RI.
Secara logika pembangunan dan anggaran, pernyataan Jokowi ini bisa dibilang masuk akal. Hal tersebut tak lain karena pembangunan di DKI Jakarta banyak bersinggungan dengan proyek-proyek nasional. Artinya, penyelesaian banjir di DKI Jakarta harus linear dengan kebijakan pemerintah pusat.
Akan tetapi, logika Jokowi menyelesaikan banjir di DKI Jakarta menyeretnya dalam kompleksitas negara. Ketika menjadi Presiden, Jokowi tak lagi bisa hanya fokus menyelesaikan masalah di Ibu Kota. Dengan jabatan sebagai seorang kepala negara, secara otomatis ia harus menjadi bapak untuk seluruh provinsi, kabupaten/kota, dan rakyat Indonesia.
Alhasil, tujuh tahun Jokowi menjadi presiden, Jakarta masih saja menjadi 'penadah' air kiriman. Sementara itu, bencana banjir dahsyat juga terjadi silih berganti di banyak daerah. Seolah Jokowi kehilangan fokus, kelabakan. Apakah harus mengutamakan janjinya kepada masyarakat Jakarta atau menjalankan mandatnya sebagai bapak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Usaha Merawat Lingkungan
Dalam rangka menghadapi laju perubahan iklim yang salah satunya diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, sebenarnya Indonesia pada 2013 sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Perpres ini merupakan komitmen pemerintah berdasarkan Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim. Indonesia menjadi salah satu negara yang menjalankan kebijakan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Kala itu, Kalimantan Tengah pernah pilot project REDD+. Komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menjaga iklim kala itu bahkan membawa beberapa perusahaan baik kebun dan tambang ke meja hijau. Bahkan komitmen pemerintah dalam menjaga iklim saat itu juga diapresiasi dunia.
Pada tahun 2014, United Nations Environment Programme (UNEP) memberikan penghargaan "Champion of the Earth 2014 for Policy Leadership" kepada Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, SBY juga didaulat untuk memimpin Global Green Growth Institute (GGGI), yaitu organisasi yang mempromosikan 'pertumbuhan hijau'; paradigma pertumbuhan yang ditandai dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Jadi kesimpulannya, sebaiknya hari ini seluruh elemen pemerintahan serius berkerja sesuai motto Jokowi, "Kerja, Kerja, Kerja". Sementara itu, untuk membangun "Revolusi Mental" yang juga dicanangkan Jokowi, juga penting memupuk mental yang apabila Tak Bisa Berbuat Hari Ini, Tak Elok Megutuk Masa Lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H