Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Kopi Sachet 2 in 1

23 Desember 2020   17:05 Diperbarui: 23 Desember 2020   17:12 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja merombak kabinet dan memasukkan wajah-wajah baru untuk membantunya menjalankan pemerintahan. Menariknya, setelah sebelumnya Jokowi menarik Prabowo Subianto; rivalnya pada Pemilu 2014 dan 2019, dalam reshuffle kabinet kali ini Jokowi juga menempatkan Sandiaga Uno (cawapres yang mendampingi Prabowo di Pilpres 2019) menjadi pembantunya.

Diketahui, di Kabinet Baru Jokowi, Sandi didapuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menggantikan Whisnutama Kusubandio. Penunjukan Sandi sebagai Menparekraf disampaikan langsung oleh Jokowi dalam konferensi pers yang dilaksanakan bersama dengan Wapres Ma'ruf Amin di Istana, Selasa (22/12) sore.

Tentunya, keputusan Jokowi memasukkan Prabowo-Sandi dalam kabinetnya disambut gembira sebagian pihak. Masuknya Prabowo-Sandi dalam kabinet Jokowi dianggap sebagai jalan pemersatu bangsa yang sempat terkoyak dalam dua kali Pemilu (2014 dan 2019) atas rivalitas dan benturan dari Jokowi versus Prabowo.

Tapi tidak tertutup kemungkinan, politik kopi sachet 2 in 1 ala Jokowi juga menghadirkan kekecewaan bagi pendukung kedua kubu. Kekecewaan publik ini cukup beralasan jika melihat irisan pemilih Jokowi dan Prabowo yang cukup bertolak belakang.

Mengutip pandangan Direktur Yayasan Denny JA, Novrianto Kahar, setidaknya ada beberapa alasan kenapa publik memilih Jokowi, yakni Jokowi dianggap publik berprestasi, Jokowi dianggap manusiawi dan tidak arogan, Jokowi dianggap bukan bagian dari Orde Baru, Jokowi dianggap pemimpin yang memberikan inspirasi dan Jokowi dianggap menghargai dan memastikan pihak minoritas tidak terdiskriminasi serta juga membuktikan kematangan dan anti mentang-mentang dalam iklim demokrasi.

Di sisi lain, dinamika publik yang diekspresikan publik terhadap Jokowi juga terbaca sebagai relasi dengan arah berseberangan dengan sosok Prabowo.

Sementara itu, bagi pendukung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019, mengutip seruan Habib Rizieq Shihab, ada 10 alasan kenapa publik harus memilih pasangan ini.

  1. Prabowo-Sandi adalah capres hasil Ijtima Ulama;
  2. Prabowo-Sandi setia kepada Pancasila dan UUD 1945 yang sejati untuk membela agama, bangsa dan negara;
  3. Prabowo-Sandi menandatangani pakta integritas dihadapan para habaib ulama yang hadir di Ijtima Ulama;
  4. Prabowo-Sandi cinta dan hormat kepada ulama dan menentang kriminalisasi terhadap ulama;
  5. Prabowo-Sandi tidak memusuhi agama Islam maupun agama lainnya;
  6. Prabowo-Sandi berakal sehat, sehingga tidak memaksa orang gila untuk memilih dan tidak pernah mengadu domba anak bangsa;
  7. Prabowo-Sandi tidak pernah membohongi rakyat;
  8. Prabowo-Sandi tidak melindungi PKI dan liberal, dan juga melindungi aliran sesat dan maksiat;
  9. Prabowo-Sandi jujur tidak curang dalam pemilu dan tidak melakukan intimidasi terhadap siapapun dalam memilih tidak melakukan balck campaign terhadap lawan politiknya;
  10. Prabowo-Sandi pembawa harapan baru Indonesia untuk lebih baik.

Segala alasan kenapa publik harus memilih Jokowi ataupun Prabowo kini hanya menyisakan duka tragedi benturan massa di depan Kantor KPU usai penetapan pemenang Pilpres 2019. Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi tidak lagi menjadi kopi dan gula. Mereka telah bersatu dalam gelas menjadi kopi sachet 2 in 1. Pilih satu ataupun dua di Pilpres 2019, yang didapatkan tetap segelas kopi sachet 2 in 1.

Akankah publik menikmati hidangan politik kopi sachet 2 in 1 ini?

Jika menilik dunia perkopian di Tanah Air hari ini, menjamurnya coffee shop mengindikasikan publik telah cerdas dalam menentukan cita rasa. Publik tak lagi memilih gula berperasa kopi, tapi publik sudah mulai mengeksplorasi sisi sweetness di balik pahit dan pekatnya rasa kopi.

Metode yang digunakan untuk mengulik rasa selain pahit kopi juga beragam. Ada yang menggunakan metode dalam pemilihan biji yang berkualitas, menggunakan metode yang tepat dalam pemprosesan kopi, hingga menggunakan penyaring dan teknik penyeduhan kopi yang tak biasa.

Dengan cita rasa dan selera modern masyarakat Indonesia dalam menikmati kopi, barangkali hidangan politik kopi sachet 2 in 1 yang disajikan penguasa dianggap sebagai hidangan yang tak memenuhi standar pasar. Dengan demikian, lazimnya dalam dunia industri, sebuah produk yang tak lagi memenuhi ekspektasi pasar maka dengan sendirinya akan ditinggalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun