Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Merawat Politik Identitas, Kemenangan Mahyeldi-Audy di Sumbar Dibantu PDIP?

17 Desember 2020   16:59 Diperbarui: 17 Desember 2020   17:36 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan calon nomor urut 4 Pilgub Sumbar 2020, Sumber: Republika

Tapi upaya "menjegal" Mulyadi tak habis sampai di situ. Menjelang hari H pemilihan, 4 Desember 2020, Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas dugaan pelanggaran kampanye, yang belakangan kasusnya dihentikan dua hari pasca pemungutan suara 9 Desember 2020.

Status tersangka di last minute pada Mulyadi ini diberitakan televisi-televisi nasional. Bahkan menurut Mulyadi, di kalangan akar rumput; hampir di seluruh kabupaten dan kota di Sumbar muncul berbagai berita hoaks atas dirinya. Ada informasi yang menyebutkan dirinya ditangkap polisi, ada yang mengatakan percuma memilih Mulyadi karena dirinya didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bahkan ada informasi yang mengatakan Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi.

PDIP Merawat Politik Identitas di Sumatera Barat?

Mengulas Pemilu 1955, PNI berhasil menang dengan perolehan suara nasional sebesar 22,3 persen. Sementara itu, Masyumi berada di posisi kedua dengan perolehan suara 20,9 persen. Jika didetailkan, PNI unggul di beberapa daerah seperti Jawa dan NTB (yang saat itu meliputi Bali), dan Masyumi unggul di Sumatera.

Membaca suasana kebatinan tempo dulu dan kemenangan paslon Mahyeldi-Audy, serta hantaman yang bertubi-tubi kepada Mulyadi, muncul berbagai asumsi bahwa kemenangan Mahyeldi-Audy tidak lepas dari bantuan PDIP sebagai partai penguasa. Publik menganggap, ada upaya untuk merawat politik identitas dengan menghidupkan memori pertarungan PNI (yang diwakili PDIP) dan Masyumi (yang diwakili partai Islam seperti PKS) di tanah Suwarnadwipa.

Dengan merawat dua polirisasi besar ini, tentunya akan memberi keuntungan bagi PDIP yang diasosiasikan sebagai partai penerus PNI di gelaran pesta demokrasi selanjutnya. Pasalnya, seperti yang sama-sama diketahui, jumlah pemilih terbesar itu berada di Pulau Jawa. Artinya, nilai sebesar 20 persen pemilih nasional akan tetap menjadi milik PDIP.

Dalam tataran konsep, politik identitas itu baik selama tujuannya keadilan dan kesataraan. Akan tetapi, jika eksploitasi politik identitas lebih mengarah pada hasrat kekuasaan, maka di sinilah letak ancamannya terhadap nilai-nilai demokrasi.

Praktik eksploitasi politik identitas yang cenderung pada hasrat kekuasaan juga menciptakan hubungan sosial yang segregatif. Masyarakat hidup dalam pengkotak-kotakan, merasa diri paling benar dan mengeksklusi kelompok lain yang berbeda pandangan.

Pola pikir yang diistilahkan filosof postmodern Jacques Derrida sebagai pola pikir oposisi biner ini tentu berbahaya bagi karakter masyarakat yang plural, seperti halnya Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan, politik identitas justru menjadi embrio bersemainya paham fasisme yang jauh dari spirit kebangsaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun