Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketidakpekaan Pemerintah Bisa Pantik Badai Revolusi

14 Oktober 2020   15:48 Diperbarui: 14 Oktober 2020   15:52 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi saat berlangsungnya unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, Sumber: Kompas

Belakangan ini kata-kata revolusi semakin akrab di telinga kita. Dalam berbagai aksi unjuk rasa kita lihat dan dengar kata "sakti" itu selalu didengungkan oleh massa aksi. Berlebihankah permintaan mereka?

Bagi para massa aksi, revolusi adalah sesuatu kemewahan yang nilainya terkadang tak sebanding dengan pengorbanan untuk meraihnya. Namun, kerap kali bagi banyak penguasa menganggap revolusi adalah sesuatu yang mustahil di tengah modernitas saat ini. Kebanyakan mereka terlalu terpaku dengan hukum ilmu pengetahuan yang mengatakan sebuah protes akan terjadi apabila adanya ketersediaan biografis, keterlibatan politik, dan ketersediaan struktural.

Menurut Schussman & Soule, ketersediaan biografis merujuk pada resiko secara individual. Seperti pekerjaan tetap, pernikahan, dan tanggung jawab keluarga. Dalam beberapa literatur menjelaskan, seseorang remaja yang berorientasi pada karir maka dirinya akan jauh dari keterlibatan protes sosial. Sebaliknya, mereka-mereka yang masih sekolah, belum bekerja, belum punya tanggung jawab kepada keluarga atau pun pernikahan cenderung lebih terlibat dalam protes.

Keterlibatan politik juga diungkapkan oleh beberapa pakar sebagai hal yang mempengaruhi seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Keterlibatan politik merujuk pada ketertarikan politik, akses terhadap informasi publik, kepercayaan serta kemapanan diri, dan efikasi politik. Adapun beberapa contoh keterlibatan politik yaitu seperti menggunakan hak pilih dalam proses elektoral, membaca berita-berita politik, dan diskusi tentang situasi politik. Sementara itu, ketersedian struktural merujuk pada ada atau tidaknya jaringan serta organisasi yang memfasilitasi para individu-individu tersebut untuk melakukan protes sosial.

Dengan tiga hal pembentuk protes sosial ini, tak jarang penguasa mengakali agar protes sosial tak bisa bertahan lama ataupun layu sebelum berkembang. Misalnya dengan cara "menggencet" institusi pendidikan agar mengeluarkan peraturan yang ketat agar para siswa/mahasiswa tidak terlibat unjuk rasa, bermain mata dengan pengusaha untuk memberikan sanksi PHK kepada karyawan yang terlibat aksi, dan memfitnah serta mengkriminalisasi organisasi maupun partai politik tertentu yang berbeda pandangan dengan penguasa.

Tapi terkadang ilmu pengetahuan membuat seseorang jumawa. Merasa paling hebat dan kerap kali meremehkan pemikiran dasar dan perjuangan masyarakat kelas bawah. Sehingga mereka lupa pematah lama yang mengatakan "seseorang tidak akan terjatuh akibat batu besar, melainkan dengan kerikil-kerikil kecil".

Seperti yang terjadi di Peru tahun 2000. Rakyat Peru mengekspresikan sikapnya kepada penguasa yang dianggap tidak merakyat, korup, dan kejam dengan melakukan ritual lava la bandera atau cuci bendera negara. Aksi ini dilakukan setiap hari Jumat dari siang hingga pukul 3 sore. Ribuan orang berkumpul di Lima, ibukota Peru.

Aksi ini pun menjalar ke seantari negeri dan diikuti oleh ratusan ribu warga yang turut andil. Ritual yang dilakukan kurang lebih selama 5 bulan ini akhirnya berhasil menumbangkan Alberto Fujimori saat itu. Setelah lengser dari jabatannya, Alberto Fujimori pun dijatuhi hukuman penjara 25 tahun atas tuduhan pembunuhan dan kekejaman yang dilakukannya selama berkuasa.

Hal-hal sederhana yang dilakukan rakyat Peru melawan tindakan rezim tentunya mengingatkan kita pada kata-kata Presiden RI pertama Ir. Soekarno, "Suatu revolusi melemparkan yang ada maju terus tanpa menghiraukan hukum itu. Jadi sukar untuk merencanakan sesuatu revolusi dengan ahli hukum. Kita memerlukan getaran perasaan kemanusiaan."

Menyikapi Penolakan UU Ciptaker

Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang telah memantik kemarahan publik. Sudah seminggu lebih, unjuk rasa penolakan belum juga mereda. Hingga saat ini korban terus berjatuhan, baik itu dari sisi massa aksi maupun pemerintah/aparat.

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut tentu membawa konsekuensi bagi ekonomi maupun politik kita. Secara ekonomi, tidak kondusifnya situasi di dalam negeri tentunya akan memperparah pertumbuhan ekonomi yang saat ini telah mengalami resesi akibat pandemi. Selain itu, kondisi yang tidak kondusif juga bisa dimanfaatkan oleh negara asing untuk memperkeruh dan memperburuk situasi nasional.

Oleh sebab itu, untuk menyikapi situasi hari dibutuhkan kepekaan seorang pemimpin. Dibutuhkan pengelolaan informasi yang baik. Tidak hanya pada informasi apa yang pemerintah ingin sampaikan, tapi juga harus berorientasi pada informasi apa yang dikehendaki dan dibutuhkan masyrakat. Dengan demikian komunikasi dua arah akan terbangun dan dengan sendirinya dan meningkatkan kepercayaan publik.

Pemerintah juga perlu bertindak tegas pada pihak-pihak yang selama ini dianggap publik terafiliasi dengan "istana" dan terus memprovokasi publik dengan tudingan-tudingan yang tak memiliki fakta hukum. Misalnya mereka yang menuding para massa aksi ditunggangi maupun disponsori, atau mereka yang dengan serampangan mencap massa aksi "bodoh" dan termakan hoaks UU Ciptaker. Padahal, hingga hari ini UU Ciptaker yang diketahui publik terus berubah-ubah. Setidaknya ada 5 versi yang diketahui publik tanpa mengetahui mana yang benar dari kelimanya.

Selain itu, pemerintah juga perlu membuka ruang dialog dengan berbagai saluran komunikasi publik. Tidak hanya berdialog dengan mereka-mereka yang mendukung UU Ciptaker, tapi juga kepada mereka yang berebeda. Semoga kita masih dalam semangat yang sama, sama-sama menjaga dan merawat ibu pertiwi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun