Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minang (Tidak) Pancasilais?

8 September 2020   00:37 Diperbarui: 8 September 2020   00:59 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perekat dan Merekatkan

Kembali dalam konteks sejarah, tokoh-tokoh asal Minang di masa lalu dengan gagasan kebangsaannya sukses menjadi perekat kebhinekaan dan melalui aksi dan gerakannya mampu merekatkan perbedaan-perbedaan tersebut. Melalui gagasan dan gerakan yang dihimpun tokoh Minang menempatkan setiap orang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Semua orang, golongan, entitas, memiliki hak yang sama dalam menghirup nikmat kemerdekaan.

Dalam kondisi kekinian, kita sebagai bangsa sebenarnya punya momentum perekat kebangsaan setelah tatanan sosial kita porak poranda akibat polarisasi politik identitas (klaim Pancasila vs klaim agama) dalam dua peripde Pemilu. Ya, momentum perekat itu adalah pandemi Covid-19. Di awal-awal pandemi, semangat kegotong-royongan yang menjadi cerminan nilai luhur kebangsaan yang termaktub dalam Pancasila sempat kita rasakan.

Tapi momentum itu kembali memudar ketika memasuki masa-masa Pilkada. Saling tuding, salah menyalahkan, dan pengabaian protokol kesehatan terjadi di mana-mana. Tak hanya masyarakat biasa, tapi juga dipraktekkan oleh elite-elite politik ditingkat nasional. Semua berebut citra positif siapa yang baik dengan cara membenamkan lawan politiknya.

Dalam konteks kekinian, saya secara pribadi sepakat dengan pandangan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terilhami oleh gagasan-gagasan tokoh bangsa asal Minangkabau yang dimuat di Koran Sindo dengan judul "Memerdekakan Negeri dari Krisis Ekonomi". 

Menurutnya krisis akibat pandemi adalah ikhtiar sekaligus momentum perekat kebangsaan dan bukan waktunya untuk saling menuding dan menyalahkan. "Semua itu harus diperjuangkan, tidak sekedar menunggu harapan," tulis AHY mengutip pemikiran Agus Salim dan Natsir.

Dengan momentum perekat itu, AHY menggalang gerakan dengan lagi-lagi mengutip spirit tokoh Minang, Sutan Syahrir, "hidup yang dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan" untuk merekatkan kekuatan nasional perang dalam melawan Covid-19. Sebagai tokoh politik yang terbilang muda, AHY juga menghimbau anak muda merawat idelisme dan integritasnya dalam mengawal kebijakan pemerintah dengan kembali mengutip pemikiran Tan Malaka, "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda".

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh elite politik hari ini. Kita butuh perekat dan yang merekatkan. Tidak sebatas berkoar Covid-19 adalah momentum perekat kebangsaan namun dalam prakteknya justru selalu memecah belah rakyat demi kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun