Sebentar lagi natal dan tahun baru. Momen seperti ini harusnya dirayakan dengan penuh suka cita. Akan tetapi, menjelang libur nasional itu sebagian besar masyarakat Indonesia nyatanya mengeluh.
Bukan hal baru lagi, setiap momen hari besar dan libur nasional selalu diiringi dengan sejumlah kenaikan harga kebutuhan pokok. Para spekulan selalu dijadikan kambing hitam oleh pemerintah untuk menghindari amukan dan kekesalan rakyat. Permasalahan ini selalu berulang dan terus berulang seolah siklus yang sulit dihentikan.
Tidak jarang pula, terkadang pola konsumsi masyarakat menjelang hari besar dan hari libur nasional juga turut disalahkan oleh pemerintah.Â
Masyarakat dikatakan terlalu berlebihan dalam konsumsi, sehingga permintaan yang tinggi dan barang yang terbatas menyebabkan harga naik sesuai dengan hukum ekonomi. Padahal faktualnya, selama lima tahun kebelakang daya beli masyarakat justru menurun.
Salah satu penyebab sulitnya pemerintah  menghadirkan  kebutuhan pokok rakyat dengan harga murah dikarenakan impor seolah dijadikan satu-satunya solusi pangan. Padahal jika negara serius, pemerintah menetapi janjinya untuk mewujudkan swasembada pangan, dan tidak berempati kepada "mafia" impor, tentunya ketergantungan berlebihan kepada impor bisa dihindari.
Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agraris. Tapi faktanya Indonesia masih menjadi importir 90 persen pasokan bawang putih yang berasal dari Tiongkok. Berdasarkan data Januari-November 2018, Indonesia masih menggantungkan impor untuk memenuhi komoditas pangan seperti gandum dan meslin (9.196,12 ton), gula (4.622,07 ton), kedelai (2.202,72 ton), beras (2.202,72 ton), jagung (587,26 ton), dan bawang putih (448,32 ton).
Tanah yang subur juga tidak serta membuat hewan ternak bisa berkembang biak dan mencukupi kebutuhan daging dalam negeri. Indonesia masih bergantung kepada impor daging dengan resiko pergerakan kurs dolar dan negoisasi dengan negara produsen, seperti Australia. Sejak 2015 hingga 2018, volume impor daging sapi meningkat tajam hingga lebih dari 300 persen.
Laut yang menjadi 2/3 dari wilayah Indonesia ternyata juga tidak cukup membuat Indonesia bisa memenuhi pasokan garam dan ikan. Pada Januari-November 2018, Indonesia masih mengimpor garam sebanyak 2.503,25 ton untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, untuk kebutuhan pasokan ikan nilainya meningkat 50,43 persen pada 2018.
Strategi impor ibarat pisau bermata dua. Satu sisi, impor dapat menutupi kekurangan pasokan  dalam negeri. Sisi yang lain bisa menjadi beban keuangan negara, apalagi jika kebijakan impor dimanfaatkan sejumlah kepentingan politik dan "mafia" seperti kasus impor ikan yang volumenya berkurang tapi nilainya meningkat. Padahal, komponen pangan yang 'diimporkan' tersebut mampu diberdayakan di tingkat petani dalam negeri.
Barang atau komoditas yang berasal dari impor sangat rentan dengan perubahan harga. Selain itu, lonjakan inflasi harga barang juga dipicu oleh kenaikan tarif seperti tarif dasar listrik (TDL), bahan bakar minyak (BBM), BPJS Kesehatan dan sejumlah kenaikan tarif lainnya.
Rakyat menuntut harga kebutuhan pokok yang murah dan terjangkau, harusnya hal ini bukanlah sebuah beban bagi pemerintah. Melainkan, sebuah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai pengemban amanah rakyat. Jika pemerintah ikut mengeluh sulit mengendalikan harga kebutuhan pokok, lalu siapa kepada siapa lagi rakyat mengeluh?
Jangan sampai pengabaian pemerintah terhadap keluhan rakyat yang semakin hari terus terbebani oleh keadaan ekonomi justru menimbulkan riak yang tidak diinginkan. Jangan pikir beban hidup yang berat dan perut yang keroncongan akan memubuat orang lemas dan berdiam diri.Â
Mesir dan beberapa negara di belahan dunia lainnya telah merasakan betapa dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan akibat perut yang keroncongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H