Ibu AY, yang baru saja melahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah, harus kehilangan bayi pertamanya karena menderita atresia pulmonal (tidak terbentuknya pembuluh darah dari jantung ke paru-paru). Ia tidak bisa berharap apa-apa. Obat prostaglandin yang sangat membantu menyelamatkan bayinya di awal-awal kehidupan ternyata tidak ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Obat ini memang relatif mahal, namun sangat bermanfaat sebelum bayi tersebut harus dilakukan tindakan operasi. Dokter juga tidak bisa berbuat optimal. Alhasil, bayi tersebut meninggal setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit.
Sedangkan tuan SH, didiagnosis kanker tulang pada tungkai kanannya. Dokter spesialis ortopedi menyarankan memasang megaprostese untuk menyelamatkan tungkai kanannya tersebut. Namun sayang, megaprostese tersebut tidak ditanggung oleh JKN. Lalu dokter memutuskan untuk melakukan amputasi demi menyelamatkan nyawa pasien. Keputusan ini harus diterima Tuan SH dengan sangat menyesal karena dia juga harus kehilangan pekerjaan sebagai supir. Masalah lainnya, anak JW, dirawat di rumah sakit swasta dengan gizi buruk dan diare berkepanjangan. Dokter berusaha agar anak tersebut tetap dirawat di rumah sakit. Namun dengan sangat terpaksa, rumah sakit harus memulangkan pasien karena overbudget.
Ibu AY, tuan SH, dan anak JW merupakan sebagian kecil ‘korban’ kebijakan JKN di Indonesia. Itu hanya segelintir fakta yang terjadi paska implementasi JKN per 1 Januari 2014. Pemerintah melalui ‘tangan-tangannya’, Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), terus ‘menghibur’ dengan kalimat-kalimat: “ini masih tahap awal”, “mudah-mudahan ke depan akan lebih baik”, “kita sedang mengalami perubahan”, “ada 9000 lebih keluhan setiap hari yang kami terima”, serta berbagai bahasa pencitraan lainnya. Beberapa wakil rakyatpun menekan pemerintah agar citranya hanya sekedar terlihat baik di mata masyarakat.
Namun kenyataannya, hak-hak rakyat atas kesehatan terzalimi dan pelayanan kesehatan diskriminatif masih terus terjadi. Masalah-masalah tersebut terakumulasi secara progresif sehingga berdampak pada terdegradasinya nilai-nilai sosial kemanusiaan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Di rumah sakit pusat rujukan, pasien harus dirawat di lorong-lorong UGD karena bangsal rawat inap penuh. Pasien-pasien rawat jalan pun harus antri sejak jam 4 pagi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di siang harinya. Hal ini disebabkan sistem rujukan yang semakin semrawut paska diberlakukannyanya JKN per 1 Januari 2014.
Sedangkan di pelosok negeri, banyak pasien harus ditangani perawat/bidan karena tidak ada dokter yang bertugas di sana. Data Indonesian Hospital Watch (INHOTCH) menemukan hanya 7,4% puskesmas di Indonesia yang memiliki dokter. Obat-obatan terbatas hanya untuk mengatasi seputar gejala-gejala puskesmas (PUSing, KEseleo, Sembelit, dan MASuk angin). Fasilitas kesehatan masih jauh di bawah standar kelayakan. Walaupun masyarakat miskin di pedesaan termasuk kategori penerima bantuan iuran (PBI), namun manfaat yang diterimanya berbeda dengan masyarakat miskin di perkotaan.
Di dunia lain di negara Indonesia, rumah sakit berbasis bisnis terus menjamur. Pemerintah pusat dan daerah memudahkan proses perijinannya dengan alasan agar mampu menghadapi globalisasi di bidang pelayanan kesehatan dan warga negara Indonesia tidak berobat ke luar negeri. Kebijakan ini dilegalkan melalui Undang-undang No. 44/2009 tentang Rumah Sakit sehingga liberalisasi pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya untuk orang-orang mampu saja. Masyarakat miskin harus rela mendapatkan pelayanan kesehatan yang sangat tidak berkeadilan.
Keluhan tidak hanya datang dari masyarakat, namun juga para tenaga kesehatan (dokter, perawat/bidan, dan lain-lain). Dokter dan dokter gigi di pelayanan primer dibayar dengan sistem kapitasi yang rendah. Pemerintah lagi-lagi ‘menghibur’ dengan memberikan ‘janji-janji’ bahwa para dokter layananprimer akan mendapatkan insentif. Sedangkan di rumah sakit, tenaga kesehatan diperlakukan layaknya ‘buruh profesional berjubah putih’. Rasa kesejawatan tereduksi oleh sistem upah. Akhirnya, sumpah dokter dan kode etik kedokteran (KODEKI) tidak lagi dijunjung tinggi.
Tanpa disadari, profesi kedokteran dibunuh secara pelan-pelan. Pendidikan kedokteran dikomersialisasi agar para dokter kehilangan mental juangnya sebagai pengabdi kesehatan bangsa. Dokter yang baru lulus dari perguruan tinggi diperbudak melalui program internship (dokter magang). Setelah itu, para dokter dihadapkan oleh sistem pelayanan kesehatan berbasis asuransi seperti sekarang ini. Dampak buruknya, para dokter lebih takut dikriminalisasi daripada mengedepankan moral dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Sejawat saya menjadi ragu membantu biaya untuk membelikan obat prostaglandin pada bayi AY yang menderita atresia pulmonal. Begitu juga sejawat lainnya menjadi khawatir mendonorkan darah kepada Tuan SH yang mengalami perdarahan berat paska operasi amputasi. Mereka takut atas tuntutan hukum karena bisa dianggap menyalahi prosedur rumah sakit. Hubungan dokter dan pasien menjadi kaku seperti proses ‘transaksi jual-beli’ di swalayan. Semua diagnosis dan pengobatan dihargai dengan paket ‘hemat’ INA-CBG yang hanya mengedepankan efisiensi.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang merupakan amanah UUD 1945 ini telah di‘gadai’kan kepada lembaga ADB (Asian Development Bank) sehingga ‘mencekik’ kedaulatan ekonomi bangsa. Sistem ini dibuat melalui utang luar negeri oleh oknum pejabat dan pakar kesehatan di negeri ini yang merupakan antek-antek asing dengan ideologi ‘neolib’nya. Mereka sengaja menciptakan sistem JKN yang sangat superior dibandingkan sistem kesehatan nasional (SKN). Mereka telah kehilangan nurani kebangsaannya dengan membiarkan penjajahan kesehatan terus terjadi.
Mereka telah ‘meninabobokkan’ rakyat Indonesia, sehingga banyak yang tak sadar akan racun kapitalisme dalam kebijakan JKN ini. Bahkan mereka sanggup menuduh komunis kepada kaum intelektual yang memiliki pandangan berbeda. Padahal sebenarnya merekalah yang menyembunyikan niat untuk ‘mengeruk’ keuntungan yang sangat besar dengan dibentuknya ‘dewa penyelamat baru’ bernama BPJS Kesehatan. Lalu siapakah yang paling dirugikan dengan kebijakan JKN ini ?. Ya, orang miskin, dokter, serta tenaga kesehatanlah yang paling dirugikan.
Bagi orang miskin, BPJS adalah Buat Pelayanan Jadi Sengsara. Bantuan iuran dari pemerintah hanya menjadi bentuk ‘pelipur lara’ saja. Tetap saja ‘orang miskin dilarang sakit’. Jika sakit, mereka harus rela mendapatkan pelayanan kesehatan yang belum layak. Orang miskin semakin dizalimi dengan implementasi sistem asuransi ‘berbungkus’ jaminan sosial ini. Sedangkan bagi dokter, BPJS adalah Banyak Pasien, Jasa Sedikit. Efek samping sistem kapitasi dan tarif INA-CBG telah mengikis jiwa humanistik para dokter Indonesia. Sadarkah kita akan hal ini …?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H