Mohon tunggu...
Eric Taher
Eric Taher Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa bodoh yang senang membuat masalah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

4'33", Sebuah Catatan Siswa Mengenai Komposisi Keheningan

8 Januari 2018   02:13 Diperbarui: 14 Januari 2018   19:03 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah makian demi makian yang berlangsung hingga lima belas menit, makian itu pun berubah menjadi rasa penasaran. Mengapa komposisi kosong begini bisa populer?

Saya pun kembali berkonsultasi dengan si Mbah. Jawaban menarik yang saya dapatkan adalah 'musiknya bukan berasal dari instrumen yang ditampilkan di atas panggung'. Loh kok? Ya, ternyata musiknya berasal dari seluruh elemen suara yang berada di sekitar kita. Suara tangisan bayi, bisikan penonton yang kebingungan, suara gelisah kaki penonton yang tidak sabaran ingin ke toilet, atau mungkin suara AC yang berdengung sepanjang konser berjalan. Terdengar sungguh simpel tetapi sangat menarik. Sang komposer pun tersenyum simpul dari alam baka.

Setelah saya membaca lebih jauh lagi, komposisi ini tidak hanya membingungkan tapi juga cukup kontroversial dalam perannya dalam men-challenge definisi musik, yang tentu membuat komposisi ini menjadi semakin menarik untuk diteliti.

Saya sendiri secara personal memandang komposisi musik ini sangat luar biasa karena mampu membuat reaksi bingung dari orang awam, tetapi kemudian membuat mereka berpikir. Tidak hanya reaksi orang awam saja, saya juga membayangkan bagaimana orang yang sudah mengerti makna musik ini tentunya akan menikmati 'musik alam' yang disajikan komposisi ini mengalun indah dan tertawa cekikikan melihat reaksi orang-orang yang baru pertama kali mendengarkan musik ini.

Saya juga dapat merasakan bahwa komposisi ini telah mendobrak pandangan dan pemikiran saya terhadap musik selama ini. Komposisi ini membuat saya akhirnya memahami bahwa musik itu tidak harus berasal dari nyanyian vokalis lagu-lagu pop atau alunan instrumen musik klasik saja, melainkan juga dapat didengarkan di mana saja, sepanjang kita mengikuti dan menikmati alunan suara tersebut, baik itu suara aliran shower, suara keyboard untuk mengetik cerita ini, hingga suara napas dan detak jantung saya yang saya dengar dan rasakan setiap hari.

Saya juga membayangkan bagaimana sang komposer dapat menelurkan ide untuk menciptakan komposisi ini. Ketika komposer-komposer lainnya sedang putus asa dan berjuang habis-habisan untuk menciptakan lagu yang dapat menandingi Beethoven ataupun Debussy, beliau malah menciptakan komposisi yang terkesan main-main, yang ternyata memiliki makna yang sangat mendalam dan berperan besar di ranah musik kontemporer.

Mungkin jika ada pertanyaan, 'Apakah komposisi ini dapat disebut sebagai musik?' Maka saya akan menjawab ya, karena secara harafiah, 'diam' sejatinya adalah bagian yang mengisi setiap komposisi dan lagu demi lagu yang tercipta.

Tidak ada keheningan yang sejati, karena di dalam keheningan itu selalu muncul suara-suara yang akan hidup di dalam keheningan itu.

Namun lebih daripada itu, dari lagu ini saya dapat meresap makna bahwa manusia tidak bisa hidup dalam keheningan semata. Manusia akan terus menggunakan indera pendengarannya untuk mencari suara-suara dari alam dan kawanannya, serta menciptakan alat musik dan tembang lagu untuk memuaskan hasrat pendengarannya. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa sejatinya kehidupan manusia tidak pernah jauh dari musik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun