Oleh : Dr. H. Munawar, M. Si
Tahun ini 2021, Kementerian Agama Republik Indonesia dalam rangka memperingati Hari Amal Bakti (HAB) ke 75 mengambil slogan atau branding INDONESIA RUKUN.
Sungguh menarik dan tepat jika slogan ini menjadi spirit pengabdian kementerian agama, mengingat beberapa waktu lalu pasca Pilpres masyarakat kita terbelah menjadi dua kelompok.
Kementerian Agama sebagai sebuah lembaga yang diberi amanah untuk mengurus kehidupan umat beragama, sudah semestinya menjadi pelopor sekaligus menjadi perekat kerukunan antar umat dan etnis. Sudah saatnya perbedaan politik dan pandangan kebangsaan kita akhiri dan kita bersatu kembali bahu membahu membangun negeri.
Indonesia, masyarakatnya dikenal sebagai bangsa yang pluralis, bahkan paling pluralis di dunia, mengingat masyarakatnya yang terdiri dari beraneka ragam etnis, bahasa, agama, adat istiadat maupun budaya.
Masyarakat Indonesia dengan berbagai keanekaragaman tersebut telah hidup secara damai rukun dan harmoni meskipun di belahan dunia lain sering dilanda konflik yang melibatkan kelompok etnis dan agama.
Masyarakat Indonesia sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu dikenal dengan istilah masyarakat multikultural.
Pluralitas dengan sendirinya merupakan suatu keniscayaan. Hal ini bukan hanya dibenarkan secara sosiologis, melainkan juga mendapatkan pembenaran secara teologis. Jadi keragaman merupakan sesuatu yang bersifat diberi (given).
Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa (syu’uban) dan bersuku-suku (qabail), artinya tidak monolitik dan homogen, untuk saling mengenal di antara mereka (ta’aruf).
Dengan demikian mengakui keberagaman merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan pula. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Hujarat, ayat: 13
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. (Al Hujarat ayat 13)
Keanekaragaman yang ada di Indonesia ini tentunya tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan telah menjadi identitas kebangsaan yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bhineka Tunggal Ika telah menjadi simbol dan sekaligus menjadi semboyan persatuan bangsa Indonesia sejak dari dulu, mulai dari Sabang sampai Merauke. Konsep ini lahir dari sebuah fakta, dimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia sarat dengan keanekaragaman, baik agama, ideologi, politik, budaya dan ras yang tentunya keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun.
Selain itu, sembonyan Bhineka Tunggal Ika sekaligus menjadi bukti bahwasanya kepedulian terhadap keanekaragaman dan pentingnya persatuan dari berbagai latar belakang perbedaan telah menjadi kesadaran hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia sejak dari dulu.
Kesadaran ini terkontruksi dalam bentuk perilaku toleransi dengan melihat perbedaan bukan hanya sebagai bawaan hidup manusia, melainkan sebuah kekayaan yang harus dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan sosial masyarakat demi untuk memperkaya pemahaman dan keutuhan jalinan persaudaraan di antara sesama. Sehingga dengan demikian, sangat jelas bahwasanya masyarakat Indonesia sejak dari dulu telah terbiasa dengan keanekaragaman.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat istiadat dan budaya. Penduduknya sebagian besar adalah penganut agama Islam. Indonesia kaya dengan ragam kebudayaan berbasis kearifan lokal, baik yang masih asli mapun yang telah tercampur dengan kebudayaan luar. Hal ini Prof. Dr. Azzumardi Azra menyatakan Islam di Indonesia adalah Islam yang paling sedikit terkena pengaruh Arab (Arabisasi).
Mengelola keanekaragaman atau pluralitas dan multikulturalisme bangsa bukanlah perkara mudah, apalagi di tengah maraknya fundamentalisasi agama dan indentitas etnis.
Meski demikian, patut pula untuk disyukuri karena bangsa ini masih bisa berdiri kokoh dengan simbol dan identitas keanekaragamannya, meski ancaman kekerasan dalam bentuk teror dan konflik komunal, datang silih berganti menerpa kehidupan sosial masyarakat bangsa ini.
Keragaman budaya yang menghiasi dan mewarnai kehidupan etnisitas bukan pembenaran atas terjadinya benturan antar kebudayaan yang mengakibatkan munculnya konflik sosial antar kelompok etnis.
Samuel Huntington pernah menyebutnya sebagai “Benturan Peradaban/The Clash of Civilizations” yaitu etnis, agama dan peradaban. Islam mengajarkan manusia untuk saling memahami antar sesamanya, karena manusia memang diciptakan dalam alam perbedaan dan keberagaman/plural.
Pemahaman budaya antara satu etnis dengan etnis lainnya yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan akan dapat meminimalisir munculnya potensi konflik sosial antar kelompok etnis.
Keragaman etnis dan budaya pada satu sisi menjadi modal sosial (social capital) bagi daerah ini jika dikelola dengan baik dan akan menghasilkan sinergisitas yang kokoh, sekaligus juga sebagai daya perekat (sentripetal) yang mampu melanggengkan keharmonisan yang telah lama dikonstruksi oleh masyarakat Indonesia.
Tetapi, di lain pihak akan menjadi ancaman besar sekaligus daya pemecah (sentrifugal) yang menyimpan potensi konflik, dan menimbulkan malapetaka nasional yang muncul dalam wujud konflik sosial, politik, agama dan budaya, jika tidak dikelola dengan baik.
Wallahu’alam ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H