Upaya kongkrit melayani Jemaah haji dengan sepenuh hati oleh Arab Saudi bukanlah teori, terkhusus Jemaah Indonesia, pembangunan jalur dua terowongan dari area kemah Mina dipasang tenda sehingga jemaah terhindar dari terik matahari. Terowongan pertama adalah untuk menuju Jamarat dan terowongan ke dua untuk kembali ke tenda seusai melepar jumrah, maka fasilitas ini sudah sangat membantu tugas Menag Lukman Saefuddin, dan PPIH, petugas haji kemenag sebenarnya cukup mudah cukup menjaga dan antisipasi Jemaah agar tidak tersesat masuk ke jalur alternative menuju tempat melontar.
Perisitiwa mina yang mengorbankan seratus lebih Jemaah haji Indonesia adalah peristiwa besar dan mahal yang harus dibayar mahal dengan nyawa Jemaah Indonesia, kelalaian petugas haji Kementerian agama yang tidak pernah mau belajar dari peristiwa tahunan yang terjadi di kawasan mina, mereka hanya menumpuk di jalur yang aman bagi Jemaah Indonesia, enggan mengantisipasi dijalur lain bagi Jemaah tersesat .
Pemerintah Arab Saudi telah mambangun berbagai kemudahan untuk jemaah haji dari pejuru dunia yang melakukan lempar jumrah di Mina. Jemaah tidak perlu lagi menanjak, karena sudah disediakan eskalator atau tangga jalan. Jemaah Indonesia melempar jumrah di tingkat tiga, tingkat paling tinggi. Di sini bergabung jemaah-jemaah dari negara-negara Asia lainnya dan Turki. Sementara tingkat satu dan dua diperuntukkan bagi jemaah-jemaah dari negara lain.
Tingkat tiga cukup tinggi, karena itu jemaah yang menginap di maktab-maktab harus naik eskalator beberapa kali hingga sampai di ujung jembatan menuju jamarat. Setelah melewati jembatan yang jaraknya sekitar 500 meter, jemaah akan sampai di jamarat. Hari pertama usai mabit di Muzdalifah, jemaah wajib melempar satu jumrah, yakni jumrah aqabah. Setelah ditu di hari kedua, wajib melempar tiga jumrah dimulai dari jumrah 'Ula dengan melontar tujuh batu, kemudian ke Wustha juga tujuh batu, dan terakhir jumrah Aqabah dengan tujuh batu pula.
Usai melempar jumrah pun, kendati harus berjalan lagi hingga empat kilometer untuk ke luar dari terowongan Muaisim, jemaah masih dimanjakan dengan jalan bergerak. Jalan bergerak atau eskavator ini cukup membantu jemaah yang sudah kelelahan berjalan. Sedikitnya ada empat eskavator sepanjang terowongan dengan jarak 200 meter. Eskavator ini diminati jemaah, tidak hanya jemaah tua. Terowongan Muaisim juga dibagi dua untuk jemaah yang akan menuju dan ke luar jamarat dipisahkan, sehingga tidak saling bertemu di satu titik. Ini membantu menghindari jemaah dari kondisi yang tidak diinginkan
ditengah semua fasilitas serba modern ini malah diikuti Kecenderungan mengurusi hal-hal yang tidak berhubungan dengan haji, Menteri Agama lukman sebagai amirul Hajj justru lalai, malahan mengabaikan keselamatan jiwa warga Negara karena hanya sibuk urusan birokrasi dan prosedural, menghitung dan awasi Jemaah Koboi seolah-olah Kementerian Agamalah pemilik Tanah Suci , sebelumnya, jelang ritual haji Lukman Saefuddin sebagai Amirul Hajj (pemimpin delegasi Haji) malah wara wiri ke Jeddah mengurusi tas bagasi Jemaah sampai lupa tugas sebenarnya, Lukman kebingungan atau memang tidak memahami besarnya Tugas yang diemban Kemenag jelang pelaksanaan Haji, Lukman saefuddin lebih berperan sebagai “Amirul Bag” Koordinator "BAGASI" atau lebih mewakili kepentingan maskapai penerbangan, seminggu jelang wukuf, ribuan Jemaah yang harusnya dibekali PPIH kemenag guna menghadapi Pelaksanaan haji justru mereka dideadline, dipacu terburu-buru segera mengemasi dan mengepak bagasi sebelum berangkat ke arafah mengemas barang bawaannya pada koper bagasi jemaah, dengan ketetapan berat maksimal sebesar 32 kilogram per jemaah.
Pesan dibalik Insiden berdarah jalan 204 Mina
Insiden ini dapat membuka mata kita tentang prilaku umum pejabat dan birokrat yang cenderung mengkambing hitamkan warga Negara, padahal warga Indonesia adalah masyarakat yang terlalu patuh dan taat pada pemerintah. Memang raja salman menyatakan ada peran Jemaah haji dalam insiden ini tapi tindakannya mengeksekusi Petugas kemanannya sendiri karena dianggap tidak patuh pada perintah, padahal korbannya bukanlah warga arab Saudi ini tentu merupakan pelajaran luar biasa bagi semua pemerintahan dunia, khususnya Pemerintahan Jokowi, jangan sampai lebih sibuk memberikan saran buat arab Saudi dalam menajemen penyelenggaraan haji tapi luput mencermati kelalaian kementerian Agama yang telah menyeret ratusan korban Jemaah Indonesia .
Peristiwa ini memang bukanlah peristiwa kecil tapi pemicunya bukanlah hal besar, bukan soal kuota haji, bukan soal pemahaman Jemaah, bukan soal keterbatasan kawasan Mina dan fasilitas keamanan, Jangan sampai Pemerintahan Jokowi bingung, sebagaimana bingungnya Amirul haj dan Petugas haji di mina, yang lebih mengurusi tas bagasi Jemaah dibanding keselamatan, lebih serius persoalkan prosedural lolosnya "Jemaah koboi" dibanding menjaga jalur-jalur lolosnya Jemaah tersesat.
Pemerintah jangan hanya tega menyalahkan ratusan Jemaah Haji Korban Insiden Mina, sangat berani menyalahkan Pemerintahan Negara Arab Saudi tapi tidak bertindak apa-apa terhadap pihak-pihak atau lembaga yang secara nyata dan jelas telah lalai dan bertanggung jawab penuh atas lolos dan tersesatnya ratusan Jemaah ke daerah rawan dan berbahaya hingga turut jadi korban dan malah pertegas petanda bahwa pemerintahan ini gagal mengemban tugas konstitusional untuk menjaga jiwa warga Negara dimana pun berada.