Perbedaan kehidupan TNI POLRI dan warga Panti asuhan hanyalah diawal bulan saja, keluarga TNI POLRI akan menerima dana tunai yang harus diatur agar cukup makan, uang jajan anak-anak sekolah bayar tagihan dipakai untuk kehidupan sebulan lamanya, diakhir bulan uang semua gaji itu habis tak berbekas, sementara warga panti tidak menerima uang tunai tapi sampai akhir bulan pengelola panti menjamin mereka  tetap bisa makan tanpa perlu khawatir dan putar otak mengatur pengeluaran dan selalu tidur nyenyak tanpa repot-repot ke pasar dan pikirkan lonjakan harga beras, cabe dan daging atau beban tagihan listrik dan lain-lain.
System gaji Vegetatif yang berlaku ini hanya modus diawal bulan menerima uang tunai tapi harus hemat dan penegluaran ketat agar kebutuhan pangan jangka waktu sebulan bisa tercukupi, TNI POLRI dan keluarganya jangankan berpikir tentang simpanan untuk tahun depan, ataupun hari Tua apalagi simpanan dan jaminan bagi anak cucu, cukup untuk bulan ini saja sudah penuh kesyukuran. Kondisi hidup keluarga  TNI Polri ini layaknya penghuni panti asuhan karena penghasilan yang berikan negara hanya bisa mengisi perut sekeluarga  tetap kenyang agar bisa bekerja, bekerja, bekerja. Tidak ada ruang kepedulian untuk generasi keturunannya. Â
Dalam system gaji vegetative ini maka Bekerja sebagai TNI POLRI sebagai sarana agar berpeluang hidup sejahterah sampai anak cucu harus mereka buang jauh-jauh, sebab hasil dari pekerjaan mereka hanya cukup sampai akhir bulan, kenyataan ketir gaji yang tidak layak ini memastikan TNI POLRI harus menghadapi dua sekaligus pengorbanan maha berat, mengabdi pada Negara dan bangsa tapi juga pasti mengorbankan  kesejahteraan keluarga dan anak cucu, sebagaimana system yang dianut masyarakat Indonesia berbudaya akibat system dan  doktrin sesat pemerintah hidup : hidup Pas-pasan (Sederhana) sebagai konsekwensi Pilihan mengabdi. TNI POLRI Seumur hidup bekerja tapi hasilnya tidak ada sisa buat mereka nikmati setelah pensiun, itu artinya secara ekonomis tenaga, pikiran dan waktu yang mereka berikan saat bertugas tidak punya manfaat atau kata lain buang-buang tenaga dan waktu.
Sunggu miris,bagaimana ekses pandangan primitive pemerintah tentang menjamin kesejahteraan yang termaktub dalam konstitusi, dimaknai hanya kecukupan makan, pakaian dan tempat tinggal dinas (barak) bagi TNI POLRI beserta keluarganya, sehingga paham tersebut dijadikan acuan dalam bentuk angka-angka sebagai nominasi komponen hidup, yang secara sistemik pandangan gaji vegetative telah menyeret jutaan keluarga hancur secara ekonomi, sekaligus ambruk secara moral spiritual, social dan budaya.
Dalam system yang didasari Paham gaji vegetative  pemerintah dengan tercukupinya kebutuhan sandang pangan dan papan, padahal kebutuhan tersebut hanya ada di zaman primitive,prasejarah, zaman penjajahan ataupun  masyarakat nomaden. sistem vegetative ini mustahil dijadikan sarana untuk sejahterahkan  keluarga TNI POLRI sebagai warga negara yang sah,merdeka dan terhormat. Negara  hanya sedang membentuk keluarga TNI POLRI  yang dirusak secara moral akibat hidupnya dijebak oleh doktrin hidup sederhana sebagai alasan utama perangkap pemiskinan kehidupan  keluarga TNI POLRI.
Fakta Kejahatan kemanusiaan dari system gaji vegetative yang menimpa  ratusan ribu TNI POLRI dapat dilihat dengan mata telanjang, TNI POLRI hidup dalam ekonomi yang sangat rentan, terjebak suramnya masa depan hari tua dan anak cucunya dan menjadi pelaku kriminalitas karena nyambi memenuhi beragamnya kebutuhan pribadi maupun keluarganya. Sementara bagi pemerintah, media dan pengamat dengan entengnya menuduh ini akibat mental kerakusan, tidak patuh pada sumpah dan doktrin. Inilah contoh mindset corrupt yang ditanamkan sejak awal efektif merusak idealisme dan moral TNI POLRI.
padahal konteks zaman modern, Paham kesejahteraan bagi masyarakat yang berbudaya tentu tidaklah sama lagi kebutuhannya, masyarakat berbudaya tentu sangat kompleks sebagai indicator kesejahteraan hidupnya. Gaji minim sebagai ciri sesatnya paham vegetative yang diyakini oleh pemerintah tentunya menunjukkan bahwa urusan biaya social dan berbudaya apalagi jaminan bagi hidup anak cucu TNI POLRI bukanlah bagian Tugas pemerintah tapi ditanggung sendiri TNI POLRI sebagai konsekwensi pekerjaan mengabdi pada Negara.
Tidak dapat dibayangkan, bagaimana bangsa ini membiarkan eksploitasi habis-habisan hidup ratusan ribu warga Negara terbaik, bekerja, mengabdi, digembleng setiap hari dengan tugas dan kewajiban: menjaga ketentraman, kedaulatan, kehormatan kita semua,  yang alat ukurnya sangat abstrak tapi didelegitimasi hak-haknya sebaga manusia yang mulia dihadapan Tuhan dan keluarganya. Sementara orang yang bekerja di BUMN, Pajak, atau umumnya mengurusi uang dimuliakan pemerintah  gaji ratusan juta rupiah plus miliaran Bonus tahunan. Inilah praktek diskriminasi yang begitu telanjang.    Â
Nawacita yang menyadari esensi kekuasaan mengintrodusir trilogy yang digagas oleh bung karno, namun semestinya konsepsi ini diarahkan sebagai alat ukur keberpihakan pemerintah bukannya jadi ultimatum politik semata yang dipropagandakan hanya mobilisasi warga. prinsip kedaulatan, kemandirian, keaslian budaya harus jadi pijakan untuk mengoreksi kebijakan gaji atas TNI POLRI. Revolusi mental sebagai slogan Jokowi JK akan bernasib sama dengan jutaan slogan Pembajakan yang pernah ada jika tidak digiring guna merevolusi system  gaji vegetatife pemerintah.
Realitas Kenaikan 60 % gaji TNI POLRI menandakan belum adanya (Revolusi mindset) Perubahan pemahaman, kebijakan dan standar gaji vegetatif, padahal gaji adalah indicator utama mengevaluasi keberpihakan politik ekonomi pemerintah; sebab Penghasilan atau gaji sebagai satu-satunya akses ekonomi ratusan ribu keluarga TNI POLRI, kenaikan 60% tidak berpengaruh, dipastikan tetap hidup rentan, sebab nominalnya saja sudah kalah jauh dengan harga-harga kebutuhan pokok tentu tidak bisa diandalkan jadi sumber simpanan apalagi warisan buat anak cucu.
Pemerintahan Jokowi JK tidak boleh lagi menanggapi sepele berbagai fakta yang menimpa Anggota TNI POLRI yang terjebak dalam dunia kejahatan, kesengsaraan keluarga TNI POLRI sebagai resiko yang harus ditanggung sendiri-sendiri  karena sudah bersumpah setia mengabdi pada Negara dan bangsa. Hidup yang telah diserahkan bulat-bulat untuk bangsa dan Negara tidak punya manfaaf sedikit pun bagi kemajuan hidup mereka apalagi anak cucu.  ( kakek kok miskin?, ngapain aja selama masa mudanya, kek??bayar rumah sakit aja susah, katanya bajak laut, Tanya kesal , cucunya kelak !!!