Mohon tunggu...
Em Ridha
Em Ridha Mohon Tunggu... -

Pemungut Ide. masih Memimpikan Pancasila sebagai Resolusi Berbangsa dan Bernegara Founder KITRA TNI POLRI @Kitra_indonesia Pusaka Indonesia Email: Kitra@gmail.com Cp.081213564764 BBM: 5D4F5C3F

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hercules adalah Kita ; Mitos Negeri Kaya Berlimpah

6 Juli 2015   23:41 Diperbarui: 6 Juli 2015   23:41 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tragedi jatuhnya pesawat hercules  yang mengangkut amunisi dan menewaskan ratusan penumpang menambah deretan bencana yang melanda bangsa ini. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang normatifnya berfungsi  melindungi warga negara dan kedaulatan negara  justru menjadi alat pembantaian warga terbaik, menebar momok menakutkan. negara yang telalu kaya raya ini tentu jadi ironi,  anugerah kekayaan alam raya berlimpah  dan prajurit-prajurit terbaik di dunia tapi alutsistanya hanyalah berkat kemurahan hati, sedekah  oleh negara “dermawan’  yang diperoleh dari jalur (Hibah), mitos penyelenggaraan pemerintahan modern, pidato atas nama Tuhan, Nasionalisme tapi barbar bagi warga sendiri, narsis karna keahlian mengemis utang dan “limbah’ dari negara luar.

Tewasnya puluhan Prajurit terbaik bersama ratusan keluarga TNI  bukti nyata hilangnya moralitas negara,  bagaimana mungkin bangsa ini bisa yakin; pemerintah peduli pada keselamatan ratusan juta warga negara? Jika pemerintah secara telanjang sdh gagal melindungi ratusan orang, maka, apa bisa berharap lebih pada pemerintah untuk jamin keamanan jutaan warga negara lainnya? Tidak soal mereka yang tewas kemarin atau besok, atau nanti adalah TNI, keluarganya, atau itu adalah kita!,  maka respon pemerintah akan tetap sama, hanya selalu hadir; mengucap duka cita seolah berduka, atau tidak lebih, muncul bagai  lembaga penyantun yang tidak berbeda dengan aksi  lembaga sosial atau badan pengumpul zakat bagi yg tertimpa bencana.

Insiden jatuhnya pesawat Hercules yang menewaskan 114 jiwa dari keluarga bangsa ini bukanlah soal teknikal kebetulan tapi ini bersifat permanen dan laten, bisa meledak kapan saja, ini kecelakaan yang dipelihara dan warisan jahat karena alasan minimnya anggaran oleh pemerintah, asumsi ekonomi yang sangat kuat telah mengaburkan esensi kemanusiaan setiap jiwa yang harus dibantai akibat kepungan logika pemanfaatan materi pemerintah yang hanya loyal pada pemilik modal sampai tidak tanggung-tanggung rela talangi utang-utang mereka yang jumlahnya ribuan triliun. Tapi bagi warga negara yang bekerja hanya diberikan layanan tansportasi usang dan bisa beli baju bekas bermerek tapi limbah lalu dikuatkan dengan kebijakan kartu-kartu santunan.

Mitologi Hercules : Keagungan Kemanusiaan VS  Syahwat kekuasaan

Visi Nawa Cita yang memimpikan Bangsa berkarakter harus terbentuk dari individu, dan keluarga yang berkarakter yang selama ini dibelenggu oleh peninggalan sistem pemerintahan yang kehilangan moral kemanusiaan atas warga Negara, tragedi yang terus berulang, berulang, warisan kegagalan pemerintah melindungi ratusan jiwa akibat sarana teknologi Negara yang sudah tamat riwayatnya, apalagi mau melindungi segenap tumpah darah bangsa ini?  tentu hanya fiktif belaka. Harus menuggu Berapa banyak lagi keluarga bangsa ini yang harus tewas terbantai sehingga pemerintah tidak lagi menggunakan kata takdir, kalau ratusan korban hercules ini lantas pemerintah cuma bisa berlindung dibalik kalimat simple  ‘kehendak tuhan; kalau begitu adanya, untuk apa menghukumi para pembunuh? Tapi Karena kita paham bahwa semua ada pemicu, atau sebab-sebanya, disinilah pemahaman dan hukum diberlakukan.

Puluhan prajurit sebagai warga negara yg nasionalismenya tdk dpt dipertanyakan lagi, bersama ratusan anggota keluarga lainnya harus tewas terpanggang bukan dalam pertempuran tapi dibantai oleh warisan teknologi usang, inilah yang di maksud teror kemiskinan; Prajurit dan alutsista sebagai sarana perlindungan setiap warga negara dan ketahanan negara harus jalani tugas-tugasnya dalam bayangan teror akibat pemerintah yang kehilangan sensitifitas kemanusiaan, lebih memilih loyal pada pemilik modal pdhal hnya dengkul utangnya segunung,  dipoles program  bangunan megah dibanding secara hati-hati dan sepenuh hati menjaga setiap jiwa dan moral warganya.

paham akademisi dan intelektual pemerintahan, memajukan  Kesejahteraan warga Negara bukan bagian dari pembangunan atau tanggung jawab sepenuhnya negara, menjaga moral dan karakter dengan penguatan financial setiap keluarga tidak dianggap sebagai pertahanan fundamental ekonomi, nyatanya,program yg dicanangkan bukanlah pembangunan sebab tidak relevan dan  hanya menunda bencana berikutnya.

Ratusan penumpang  tewas terdiri, anak-anak, Istri atau sanak keluarga TNI tentu jadi Tanya tersendiri, kenapa mereka menggunakan penerbangan beresiko ini?, jawabannya; karena mereka tidak mampu! Buat membeli tiket pesawat komersial, ketiadaan uang, mereka hanya bisa manfaatkan fasilitas gratis buat  keluarganya tanpa sadar dengan resiko yang dihadapi, sebab bekerja sebagai TNI atau POLRI oleh pemerintah hanya diberi jaminan sandang papan,pangan (SPP),  sebagai kepala keluarga mereka tidak diberi kemapanan financial selain anggaran SPP apalagi untuk naik Pesawat buat MUDIK, (Mimpi Kali yee??). jika Tenaga, waktu, hidup mereka selama ini  telah dipakai gratis oleh pemerintah dan bangsa ini atas nama nasionalisme, masa iya keluarga mereka tidak bisa nikmati pesawat perang gratis?? Sementara para pengemplang pajak ratusan triliunan puas keliling dunia pakai duit bangsa ini.

sebagaimana lazimnya keluarga miskin lainnya di bangsa ini. Lagi-lagi Kemiskinan Keluarga TNI hanya berbuah nestapa dan sial. Berapa banyak bintang dan Buah hati keluarga TNI lagi harus relakan  dipanggang bersama burung-burung tua, penantian mengubur tulang belulang keluarga mereka sebagai tanda mata kejamnya kemiskinan.  Disinilah relasi teologis, kenapa tuhan bersama dengan orang-orang miskin: karena mereka  hidup ekstrim, sangat dekat dengan maut , semua bencana kemanusiaan, bagaimana ngerinya kemiskinan sampai-sampai Tuhan pun selalu terlibat aktif karna pemerintah pasif; hanya menunggu dan menunggu setelah bencana terjadi !!. 

Sebaliknya akan Mustahil jika keluaarga TNI ini mapan dan berduit akan tega tanggung resiko menggunakan kapal perang buat mengangkut  keluarga tercintanya. Pastilah pilihannya transportasi akan lebih baik atau mungkin yang terbaik, sebagaimana selera pada umumnya  kepala keluarga  yang mapan di bangsa ini. Tidak mungkin ada kepala keluarga yang mapan,mau menggendong anak-anaknya naik ke kapal bocor atau pesawat rusak, tapi dalam kondidi pas-pasan itu sama mustahilnya bagi mereka untuk naikkan buah hati mereka ke pesawat komersial yang tahun pembuatannya serba terbaru. Sebasb Hidup mereka tdk punya pilihan, serba terpaksa! Totalitas jiwa raga prajurit-prajurit untuk bangsa dan negara, tapi keluarga kecil mereka hidup rentan, frustrasi;  Pemerintah lebih memilih jaga  inflasi dibanding jaga eksistensi jiwa dan moral warganya

Dipihak lain, Media-media pemberitaan punya cara pandang berbeda atas musibah ini, arus utama pemberitaan menyoroti sisi komersialisasi  alutsista TNI, bukannya membongkar kemiskinan TNI yang terpaksa menitipkan keluarganya yang tewas dalam penerbangan Militer,  Media secara heroiknya membongkar bisnis penerbangan TNI daripada menjawab kenapa keluarga TNI harus naik Pesawat Militer?, inilah refresentasi ratusan ribu keluarga  yang miskin sudah jatuh lalu ditimpuk tangga, mereka dihakimi dan cenderung dikriminalisasi akibat memanfaatkan kesempatan atau berbisnis.

Padahal siapapun orangnya, dalam kondisi hidup ekstrim, pasti akan melakukan segala cara agar tetap bisa survive. Jangankan TNI  POLRI tapi siapa saja yang secara ekonomi keluarganya terdesak , tidak kenal ampun, pejabat, wartawan, ataupun perempuan biasa-biasa maka apa saja akan dikomersialkan, termasuk prostitusi agama, jabatan dan Kelamin.

Jatuhnya hercules adalah fakta bom waktu yang telah lama ditanam sendiri, diwariskan sejak beberapa dekade oleh pemerintahan yang doyan bikin kebijakan “Sampah” yang setiap waktu dapat memicu endemik mematikan. Penggunaaan berbagai peralatan usang “sampah” bukan hanya pada alutsista tetapi juga hampir semua sarana yang disediakan pemerintah, alat transportasi publik; Kereta Api, Kapal laut, bus way dll adalah deretan modus kebijakan pemerintahan  yang berlogika ‘sampah’.

Kebijakan ini dikategorikan sebagai teror bagi warga Negara dengan alasan keterbatasan anggaran. Alih-alih focus pada isu utama kemiskinan yang menimpa  jutaan keluarga bangsa ini,  pemerintah malah pilih alokasikan anggaran; bayar utang orang2 swasta sok kaya, membangun infrastruktur ditanah-tanah kosong, Ratusan juta Warganya miskin dan lapar pemerintah lebih peduli bikin jalanan aspal jutaan kilometer dan bangunan megah agar  investor tertarik, kebijakan pemerintah ini bila diumpamakan: kebakarannya di Jakarta tapi kirim pemadamnya ke pulau sebatik.

Tragedi hercules harusnya membuka mata bangsa ini akan mitologi pembangunan pemerintahan yang teorinya sangat-sangat  modern tapi secara operasional sebanarnya hanya eksplotasi warga Negara, gunakan asumsi primitive, pekerjaan sebagai TNI atau POLRI dimana warga Negara tidak memperoleh apa-apa, kecuali jaminan Sandang, pangan, papan serta seragam dinas; saking ekstrimnya hidup mereka untuk mudik sekali setahun saja bagi mereka sekeluarga harus dengan cara-cara sangat riskan, penghasilan minim oleh pemerintah tidak memungkinkan gunakan pesawat komersil atau sarana transportasi komersial berbiaya tinggi,  kondisi hidup TNI POLRI mewakili semua pendapatan dari pekerjaan yang disediakan baik swasta maupun pemerintah, beli baju baru, mudik sekeluarga demi sedikit berbudaya bagi warga  pekerja jadi barang yang sangat mahal.

Sementara, fasilitas ekslusif dan privilege terbuka lebar bagi kaum taipan- minoritas yg  tidak pernah mau berpuasa, selalu harus menjadi arus utama yang diuntungkan pemerintahan karena jasa atau setoran,transaksi gelap;  sementara  kaum papa mayoritas hanya bisa hidup dgn doktrin gnotisme atau sufisme; Puasa , puas menikmati fasilitas bodong "seadanya", sarana berteknologi usang ‘sampah’ , negeri yang di jejali jalan aspal “klaim pembangunan’ penuh kerikil, berlobang dgn prestasinya pembunuh nomor satu dinegara ini, beberapa fokus‘pembangunan’,  malah seret  warga miskin bersahabat dengan maut. Sebagaimana tradisi dari bangsa miskin, Duka lara dan air mata keluarga miskin Bangsa ini hanya tetesan yang jatuh diatas sungai selalu hanyut terbawa arus; hilang tak berbekas.

praktek  demokrasi yang dipuja-puja masih  berpusat tentang managemen perebutan kekuasaan; politisi  miskin akan terpinggirkan, birokrasi miskin sebagai penumpang gelapnya, sebab hanya menguntungkan kaum taipan minoritas sejak bangsa ini merdeka  lalu berkutat disitu-situ saja,   belum pernah menyentuh logika pengelolaan kemanusiaan atau distribusi kesejahteraan bangsa ini.rapat kabinet ditambah perpres, sidak pasar, Kontrol harga cabe, bawang atau daging diyakini prnerintah cukup menjaga “citra”  wong cilik, keberpihakan pada warga pekerja miskin, tapi bencana paham eksploitatif, sumber utama kemiskinan TNI Polri dan seluruh pekerja; nyaris tidak pernah jadi renungan apalagi jadi topik rapat kabinet ,alasannya sudah didelegasikan hitung-hitungannya ke masing-masing institusi.

Nawa cita kita yakini bukanlah mitos seperti hercules sebagai anak dewa dalam mitologi yunani: tetapi nawa cita adalah pilihan kritis bangsa ini untuk mengakhiri praktek pemerintahan yang selama ini  hanya bisa berkeluh kesah dan  pelipur lara bagi kepedihan keluarga besar bangsa ini yang tepanggang oleh kemiskinan sistemik, Jokowi adalah kesempatan besar bagi bangsa ini, sebagaimana bulan puasa hadir sebagai momentum bagi umat manusia mengevaluasi dan bersiap diri secara total atas tantangan kehidupan bulan-bulan berikutnya. Pesawat Hercules yang jatuh di bulan ramadhan memang bukan kendaraan Jibril Membawa Wahyu, tapi insiden Hercules harus  membuka fakta bagaimana ekses pemerintah dengan paham, sistem ekonomi primitive ini akan menyeret siapa pun warga negara ini dalam antrian pembantaian.

Jokowi dan nawa Cita jangan sampai hanya sosok dengan teks skriptual bodong, militansi dan keberpihakan pada bangsanya yang miskin  hanya ada pada saat kampanye Pilpres dan podium-podium konfrensi pers, tapi saat warga Negara sudah memenangkannya, Jokowi   bingung, linglung, kehilangan ruh progresifitanya akibat kuatnya pengaruh taipan dan politisi bermental receh-receh, hanya ngotot menyuarakan, mewakili kepentingan murahan dengan segala argumen spekulatifnya. Jokowi tidak boleh pelihara warisan  mitos developmentalisme  yang terbukti tidak sesuai karakter bangsa; akumulasi anggaran untuk infrastruktur  dan bayar utang buat jaga citra ekonomi pemilik modal, sebagai praktek gaya dan  mindset pemerintahan miskin; biar lapar asal bisa gaya.

Pembangunan infrastruktur memang menjanjikan kemakmuran warga Negara tapi  untuk mengaksesnya kesana,energi warga terbatas dgn jarak yg sangat jauh dan  berliku, malah hanya jadi  bancakan birokrasi miskin  dan olahan (kemiskinan) politisi recehan. Nawa Cita harus terus dikawal agar aktual transformasinya dapat segera dinikmati oleh bangsa ini tanpa terkecuali. Sebab tidak satupun kosa kata secara tegas tentang pembangunan infrastruktur bisa ditemukan dalam konstisusi. Segala kekayaan yang terkandung dikuasai Negara untuk kemakmuran setiap warga Negara;  sederhana, Rigid, jelas, kongkrit tapi pemerintah justru masih berpihak pada teori-teori impor pembangunan yang ditangani oleh birokrasi "mogok" bukannya  berpegang teguh pada Visi konstitusi.

Relasi antara Pencapaian visi nawa Cita dan keberlanjutan tatanan usang pemerintahan mengharuskan bangsa ini gunakan pendekatan puasa; dimana tuhan mendidik manusia untuk menghindari hal-hal yang bersifat rutin, biasa-biasa agar potensi luar biasa dalam dirinya bisa mengaktual; dalam konteks alokasi anggaran  pemerintah selama ini yang hanya habis untuk bayar utang dan pembangunan infrastruktur yg sudah rutin ini juga harus segera berpuasa, hanya untuk beberapa tahun, agar anggaran yang terbatas ini bisa difokuskan melatih dan memajukan kesejahteraan TNI POLRI, sehingga nawa cita tidak sebatas teks metafisis kampanye, puasa anggaran untuk bayar utang swasta atau pembangunan yang tidak strategis adalah pilihan untuk identifikasi keberpihakan pemerintah pada penuntasan problem kemanusiaan yang menimpa keluarga besar ini.

relasi warga Negara TNI POLRI dengan kualitas nasionalisme 24 karat yang ada dalam intitusi ini adalah suprastruktur  utama serta strategis guna transformasi mimpi nawa cita, pemiskinan yang dialamatkan negara atas mereka tidak memupus prestasi dan kerja-kerja kemanusiaannya; tentunya sudah kongkrit jika eksistensinya menentukan keberhasilan revolusi nawa cita dalam menegakkan hak-hak, moralitas dan karakter luar biasa bangsa ini.

Kemenangan bangsa ini untuk memilih nawa cita bukanlah pilihan magis, tapi sebagai pilihan transedental warga Negara, ekspektasi dan kesadaran kritis warga Negara pada  sosok jokowi yang dapat mengakhiri pemerintahan primitive secara sistematik dan mengorganisir pemerintahan tidak lagi menjebak keluarga besar bangsa ini pada duka lara dan  pasrah pada ‘mitos teknologi  usang dan tatanan sampah yang cenderung jadi tunggangan ‘aliansi kapitalis domestik’ dimana kekayaan mereka tidak sedikitpun berperan menjaga kehormatan negara, sangat miskin getaran kemanusiaan dan nasionalismenya.

Akhirnya, secara teologis maka  ritual puasa ,merupakan pilihan bebas dari manusia yang serba mampu,  memilih dari semua sarana yang tuhan berikan untuk melatih diri dengan kesederhanaan dan kelaparan agar menumbuhkan solidaritas  kemanusiaan, puasa sebagai momen pembelajaran oleh tuhan, dapat  terpatri langsung dalam setiap mindset, prilaku dan tindakan;  bukan sebaliknya, menjadikan kesederhanaan hidup untuk menutup akses warga pekerja menikmati pilihan bebas dari kemapanan hidup.  Kemiskinan sebagai pemicu bencana tidak boleh lagi hanya jadi diskursus insidentil apalagi jadi alat politis murahan dan moment birokrasi lagi-lagi garong anggaran.

Sebagaimana tafsir nawa cita hanya menaikkan tunjangan 50% bagi TNI Polri mengindikasikan masih kuatnya paham  gnostik atau sufisme pemenerintahan sebagai paham pembodohan,  dimana  Tuhan dan teks-teks kesederhanan dipakai untukk eksploitasi warga negara dan melanggengkan praktek diskriminasi yang berujung pemiskinan dan bencana kemanusiaan, indikasi mahalnya biaya menjaga kelestarian budaya yg telah menjadi ciri utama keluarga besar ini, budaya besarnya masih eksis dibangun mencakup pelibatan biaya materi, kesadaran transendental dan murni oleh nenek moyang keluarga indonesia sebagai warisan buat anak cucunya, tidak mungkin didekati oleh pemerintah sebatas logika dan mitos ekonomi impor dengan dibumbui limbah teknologi usang. 

 #SaveOurHeroes

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun