Mohon tunggu...
Em Ridha
Em Ridha Mohon Tunggu... -

Pemungut Ide. masih Memimpikan Pancasila sebagai Resolusi Berbangsa dan Bernegara Founder KITRA TNI POLRI @Kitra_indonesia Pusaka Indonesia Email: Kitra@gmail.com Cp.081213564764 BBM: 5D4F5C3F

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gibran, Angelina, Nawa Cita :Antara Tradisi&Fiksi

14 Juni 2015   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naasnya hidup, lahir, hingga matinya Angelina sebagai bintang dan malaikat kecil keluarganya adalah desis-desis bencana kemanusiaan tapi sebagaimana lazimnya jutaan tragedi yang pernah terjadi, perlahan akan ternggelam oleh hiruk pikuk kepentingan politik Receh-receh2an. Isak Tangisan bangsa ini seperti debu berhadapan dengan kepentingan Politik murahan elit birokrasi dan elit parpol; menjadi  angin puyuh yang  menyapu  bersih memory, fakta-fakta  tragis anak-anak yang hidup dalam keluarga miskin.  Tewasnya Angelina dan  kepedihan keluarga miskin bangsa ini justru menjadi panggung  pesta pora para POLITISI miskin, Ajang mengamen bagi KPAI Melarat, sisipkan Proposal baru birokrasi bagi DEPSOS,keluarga besar Kementerian Pemperdayaan perempuan dengan sigap membuat project proposal permintaan anggaran daripada  nganggur.

Fakta tingginya biaya baik financial, biaya social, kehancuran budaya tradisi  yang ditanggung bangsa ini akibat paham primitif pemerintah,olehnya, harus menjadi momentum untuk mengoreksi total pemahaman  Pemerintah dan Elit Parpol. Karena jebakan serba miskin, secara tidak sadar tidak ada yang diuntungkan dalam situasi seperti ini selain keuntungan Instant: kesadaran bersama mendesakkan Revolusi sistem penghasilan, Upah, Gajih sebagai bagian menguatkan sistem Kemanusiaan, sekaligus menegaskan bahwa Nawa cita berpihak pada konsititusi, tegas demi tegaknya martabat kemanusiaan setiap keluarga.

Nawa Cita jangan Cuma bisa habiskan waktu, energi dan periode memperkuat atau terseret kepentingan Elit parpol-parpolnya, lebih sibuk mereformasi sistem politik demokrasi dan birokrasi yang juga bermental recehan akibat kekurangan uang,uang dan uang. (mereka juga boleh jadi korban) sebab mereka juga punya anak-anak,  serta  tanggungan bagi keluarga besar mereka.  Bersekongkol dengan kekuasaan seluas-luasnya diyakini oleh elit Parpol dan Elit Birokrasi sebagai jalan mengeruk sumber duit padahal resikonya juga akan ditanggung oleh anak keturunannnya.

Pemerintahan ini tidak boleh lagi, hanya peduli dan berpihak pada penilaian dan indeks ekonomi luar negeri lantas mengacuhkan kemiskinan  warga negaranya sendiri, pemerintah tega memiskinkan dan menggorok anak-anak bangsanya  dibanding moratorium bayar utang luar negeri 600 Triliun yang tidak jelas. Pemerintah memilih takut pada indikasi sanksi ekonomi yang belum jelas dibanding takut dan khawatirkan nasib jutaan anak-anak bangsa ini yg sdh jadi pengemis, pelacur dan korban traficking. Dalam banyak kesempatan, pemerintah  lebih memilih menjadi komentator lalu menyalahkan (secara tegas) pola hidup konsumtif warga negaranya.

Nawa Cita yang tegas menyuarakan kedaulatan dan kehormatan Bangsa ini tidak boleh lagi terjebak logika primitif dan mental pengamen atau mental tukang parkir, sangat tegas  narik ongkos parkir dipinggir jalan, di bandara,di warteg, PKL tapi keder, lemah, loyo jika berhadapan dengan para pengemplang Pajak ratusan Triliun. contoh paling terkini, ketegasan pemerintah melindungi dengan menghapus atau pemutihan Pajak Properti (Tax Amnesty) yang  merugikan negara 190 Triliun (loh loh ini duit semua kok). Nawa cita jangan-jangan  hanya tegas didepan Kamera atau podium,  tegas dalam bidang prestasi sepakbola  padahal  hanya permainan tapi tutup mata pada ambruknya prestasi kemanusiaan akibat Uang,uang,Uang.

                Nawa Cita  tidak boleh dibiarkan tega bikin macet demi memungut recehan-recehan sepanjang  jalan-jalan Tol demi keuntungan BUMN  hanya 3 sampai 10 Triliun, berani menerapkan pajak 150% bagi Kendaraan Bermotor  agar warga jangan konsumtif, tapi lupa mendidik dan persiapkan SDM pajak  untuk menghitung potensi pemasukan dari hasil-hasil hutan,sawit, eksploitasi Minerba khususnya bagi 24 kontrak karya yang beredar dan merugikan negara puluhan ribu Triliun setiap tahun.

Jokowi dengan Nawa Citanya bukanlah Superman dengan akik Kryptonitenya, Jokowi dan nawa cita yang mewarisi pemerintahan sistem primitif  harus prioritaskan penghancuran paham primitive ini agar terbuka jalan revolusi sistem Kemanusiaan guna menggerakkan seluruh kekuatan dan kesadaran seluruh elemen bangsa. Kehadiran finansial Negara terhadap setiap keluarga dan warga negara secara paripurna sebagai anti tesa kekuasaan yang primitif, sekaligus prasyarat guna memicu kemakmuran paripurna setiap warga dan keluarga yang tak lagi bernoda.

Mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran keluarga  TNI POLRI sebagai kryptonite Nawa cita:  perlindungan bagi idealisme ‘Malaikat’ Bangsa ini, sebab, tugas-tugas, progresifitas, mobilitas mereka menjadi penanda  hadir tidaknya Jokowi dan nawa cita dalam relung  hidup dan detik-detik penting setiap warga negara dan keluarga. Sehingga  jokowi dan menteri-menteri bisa fokus pada isu-isu strategis, lintas Negara, dibanding kometar yang kambing hitamkan TNI POLRI, beraksi sok dermawan  seperti pengelola panti asuhan, blusukan untuk ambil alih tugas-tugas teknis lapangan apalagi terkait menjaga rasa aman setiap warga Negara, menjaga luasnya hutan dan lautan.

Mainstreaming kesejahteraan keluarga TNI POLRI sebagai malaikat dari seluruh keluarga besar Bangsa ini dibanding program lainnya karna ini sebagai pijakan dan kekuatan utama Jokowi dan Nawa Cita agar sinar dan kilauan Jokowi sebagai Bintangnya  Keluarga Besar bangsa ini bisa mengakhiri tangisan jutaan ‘Angelina-Angelina’ yang terpapar disetiap belakang rumah, sudut lorong dan jalan-jalan, Nawa Cita tidak boleh lagi ditawar-tawar apalagi cari-cari alasan dan teori mengesampingkan penanganan bencana kemanusiaan akibat pemiskinan pemerintah menunggu atau menunda-nunda higga  malaikat-malaikat kecil setiap keluarga tidak ada yang tersisa, karna habis tergadai.

Jokowi sebagai kepala keluarga Bangsa ini harus berani dan tegas setegas-tegasnya memerangi kebijakan primitif, mental dan prilaku yang lebih tega dan memilih  menggorok warga miskin lalu ngorok dan memilih kompromi pada modus-modus Perampokan Ribuan Triliun kekayaan negara,  Pernikahan Gibran adalah Momentum penting keluarga  Jokowi, peristiwa ini paling tidak bisa jadi rujukan sederhana dari keunikan kebutuhan setiap  keluarga yang ada di seantero nusantara,salah satu rujukan  modul hitung-hitungan penghasilan bagi  Warga negara  yang bekerja, serta dapat memahami fungsi dan manfaat  penting gajih, upah,penghasilan bagi prestasi kemanusiaan sehingga berkah kilaunya sebagai keluarga Indonesia  bisa berpesta dan dinikmati oleh jutaan “Gibran-Gibran’ bersama “Selvi-Selvinya’ yang ada hari ini maupun yang nanti akan lahir dari rahim ibu pertiwi.

#SaveOurHeroes

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun