Baru ketika ia menemukan mayat laki-laki tak berkepala di halaman belakang rumahnya, segala sesuatu yang membuat hati dan pikirannya terancam mulai terbuka satu demi satu. Ia menjajaki susunan keheranannya  dengan keseriusan ancaman dari pria misterius. Sehari penemuan mayat tak berkepala itu, si pria misterius kembali menelepon. "Mayat yang kautemukan adalah awal dari hidupmu yang semakin memburuk."
"Dasar Sialan! Bangsat!" Alex emosi.
Lelaki itu tertawa kecil. Tampak puas dan ada nada keinginan kuat ketika berkata,"tenang, Pak Alex. Orang sabar disayang Tuhan. Dan tentunya masih ada mayat-mayat lainnya yang akan tergeletak di sekitar rumahmu kalau kamu tidak mengikuti apa yang aku inginkan."
"Ke rumah nomer 13?" Sela Alex tergesa-gesa
"Betul!"
"Maaf. Sebenarnya ada apa di rumah nomer 13 itu? Rumah itu ...."
"Aku tidak bisa menceritakan lewat telepon. Kita harus bertemu dulu."
"Kapan?"
"Lusa. Di ...." Pria itu menyebutkan alamat yang dimaksud. Dan melanjutkan. "Kalau sampai tidak datang." Ia diam dan melanjutkan dengan nada lebih dingin lagi. "Aku tidak akan segan-segan menggorok leher kedua anak-anakmu, Pak Alex."
Tapi hari yang dimaksud dengan pria asing itu, tak kunjung diabaikan Alex. Masih banyak waktu dan sesuatu yang harus ia jalani bersama keluarganya ketimbang menuruti keinginan lelaki asing yang tolol itu. Tidak berguna. Bikin runyam kepala saja, pikirnya. Tapi sekali lagi perasaan takut itu selalu muncul tiba-tiba. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi dirinya dari jarak dekat. Alex tetap tidak memedulikan perjanjian dengan lelaki itu ketika pada malam itu. Dan malam ini, lelaki itu kembali meneleponnya. Ia dilanda kejenuhan sekaligus ketakutan akan ancaman pria misterius itu. Ia merasa dirinya menjadi orang paling bodoh di dunia.
****