Sesaat kemudian, Mama dating dengan membawa secangkir teh. Mengawali pagi dengan kehangatan. Mama, terlihat jelas kerutan di wajahanya, uban dikepalanya, seakan menggambarkan, betapa ia telah cukup menikmati asam pahit kehidupkan.Â
Sungguh-aku selalu merasa ketakutan, setiap kali membayangkan, masa ketika Mama akan tiada, apakah aku masih bsa baik-baik saja? Ataukah menggila. "Minumlah, Nak..." ujar Mama sembari memberikan cangkir berisi the hangat-kemudian dia duduk disampngku, perlahan.Â
Gerak tubuhnya memang bisa dikatakan lebih lamban. Aku menyingkapkan selimut, menyeka sisa air mata, menerima secangkir teh hangat paling istimewa.Â
Selain Hanz, Mama adalah tokoh utama dalam setiap episode kehidupanku. "Semamalam kau begadang. Dan selalu begitu...seharusnya kau bisa tidur awal-agar kesehatanmu tidak terganggu," ucap Mama. Terlihat jelas air matanya mulai menetes. "Dry semalam tidur kok Mah," pungkasku.Â
Terkadang heran dengan sikap Mama yang menurutku terlalu berlebihan-dalam kekhawatiran. Dan yang terparah-Mama seperti kecanduan untuk menangis-Entah. Aku meneguk minuman itu. Serasa hangat di kerongkongan. Aku tersenyum sembari mengucapkan "terimakasih, Ma," Mama membalas senyum-mengangguk.Â
Hanya butuh hitungan menit, minuman itu kuteguk sampai habis. Sembari melihat ruas jalan luar jendela, setelah gorden dibuka lebar-lebar sejak tadi, oleh Mama.Â
Ranting jatuh, daun gugur, sisa ar hujan yang menetes dari genteng sisa hujan semalam, dan cahaya fajar yang mulai menulusup lewat celah jendela kamar, semua tanpak estetik dalam nuansa hening. Kemudian Mama, mengambil kembali cangkir yang kini sudah terkuras habis airnya.Â
"Mama kembali ke dapur dulu, mandilah..."ucap Mama, kemudian berlalu. Hening. Hanya kata itu saja yang dapat menggambarkan suasana rumah. Meski pag-sore-atau malam, entah. Jarang sekali ada canda tawa-hanya luka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H