***
 "Dry?" Itu suara Zyy. Kekasihku. "Are you okay?" kini suara itu mulai mendekat. Lelaki itu duduk tepat di samping tempat tidurku. Jemarinya yang kekar mulai mengisi setiap ruang kosong genggamanku, "apa masih dalam tema yang sama?" , tanyanya.Â
Lelaki itu seperti sudah tahu persis banyak tentang apa yang ada dalam benakku. "Masih,"jawabku. Genggamannya selalu erat, peluknya selalu hangat.Â
Namun, entah...selalu ada hal lain yang aku ingin. Yang jelas-itu bukan dia. "Sudahi semua omong kosong dan halusnasimu Dry, aku mulai jengah dengan semua teka-tekimu itu,"ungkapnnya.Â
Aku mendengar dengtan jelas bagaimana dia mendecak bernada kesal, lantas aku langsung memandanginya dengan tatapan dingin. "Kau seharusnya pergi saja. Dan enyah dari kehidupanku!" jelasku-kasar.Â
Aku tahu betul apa yang kuucapakan barusan adalah sebuah pernyataan menyakitkan. Tapi walau bagamana pun, ucapannya tadi membuatku hilang akal. Kalau saja bukan karna Mamah, dia bukan siapa-siapa untuk sekedar mendapat peran utama.Â
"Kau?" terlihat jelas gusar di wajahnya. Dan aku-hanya tersenyum dingin, sembari melepas pegangan tanggannya tadi. "Kau hanya tamu.Â
Tolong pahami posisimu,"ucapku kemudian-sembari berpaling muka. Hening pun menyapa. Aku-sembunyikan air mata yang mengalr deras di balik selimut yang membalut tubuhku.Â
Bagamana pun-dia adalah bagan dari hidupku. Aku masih waras untuk memahami bagaimana ucapanku merusak hatinya. Tapi, "maaf," lirihku.Â
Kudapati ia masih menikmati luka dalam diamnya. Jemarinya mengacak kusut rambut, sesekal mengusap wajah-seperti tertekan. Sebenarnya, kita dalam posisi yang sama. Terjebak dalam sebuah ikatan paksa-perjodohan.Â
"Aku tahu semua sulit, Dry. Tapi asal kamu tahu, yang tersisa bukan hanya kamu, tapi juga aku," ujar Zyy. Wajahnya yang putih kini terlihat memerah. "Aku mau pergi-istrahatlah," ujar Zyy, pamit. A menolehku sebentar, sedang aku masih terisak, serasa begitu menyakitkan. Zyy berlalu dan sosoknya hilang dalam pandangan, saat pintu kamar mulai tertutup.Â