Mila  menangis terisak. Di depan banyak orang yang menyaksikan, ia berikrar. Sembari menjabat tangan seorang yang disepuhkan. Sebut saja namanya Ibrahim. Terdengar lirih dua kalimat sahadat dari lisan gadis itu, disambut doa dan haru para saksi dan tamu.Â
"Sekarang, kamu telah kembali fitrah," ucap Ibrahim sembari tersenyum manis.
"Terimakasih sudah menyelamatkan jalanku, Kak," ucap Mila, sembari menghapus air matanya.Â
Suasana berubah menjad hari. Mila mendapat pelukan dan ucapan selamat dari beberapa wanita yang hadir di tempat itu. Sementara kaum pria, mulai menikmati hidangan yang tersedia.
Dari arah luar, tanpak seorang perempuan paruh baya datang tergesa-gesa. Lantas semua mata tertuju padanya. Tak terkecuali Mila, ia begitu terkejut, "Mama..." gumamnya. Wajahnya tanpak pucat seketika, ia berlari kecil berlindung di belakang tubuh kekar Ibrahim.
"Saya tidak akan berdebat dengan siapa pun di sini. Yang saya mau, kembalikan anak saya. Jika tidak, saya akan melaporkan ini ke pihak berwajib,"ucap wanita itu. Ia adalah Bu Ratna. Ibu kandung dari Mila.
Air matanya menetes perlahan, tak tertahan.
"Kami tidak menculik anak ibu, kami hanya menunjukan jalan yang lurus pada anak ibu. Silakan ibu duduk dulu, kita bicarakan bak-bak soal ini," pungkas Ibrahm dengan tenang. Semua orang di sana hanya menunduk seolah tak punya banyak daya.
Bu Ratna kembali meneteskan air matanya, ia mula terisak. "Keluarga kami keluarga bergama. Kami islam, kitab kami al-quran, nabi kami nabi Muhammad. Kami shalat, kami puasa, jakat. Kami sama seperti kalian Pak. Mengapa kalian perlu mebaiat anak saya dan memfonis kami yang bukan golongan kalian ini kafir? kenapa anak saya diislamkan kembali? kenapa Pak?" lirih bu Ratna. Tak siapa pun menghampirinya. Ia mash berdiri d ambang pintu, berharap anaknya kembali. Namun, Mila tanpaknya memilh untuk tetap tetap bersembunyi di belakang Ibrahim sembari menangis.Â
"Silakan masuk dulu Bu, mari bicara baik-baik," ajak Ibrahim dengan sikap yang masih begitu tenang.
Dari sudut ruangan seorang perempuan berkata,"Jika ibu Islam, kapan bu bersyahadat? Siapa imam yang akan bersaksi bahwa Ibu islam? " Itu suara Fatimah. Ustadzah di kalangan orang-orang itu.
"Sejak saya lahir, saya sudah dalam keadaan Islam, saya muslim. Nenek-moyang saya muslim. Dan cukup nabi Muhammad s.a.w yang akan menyaksikan bahwa saya seorang muslim di hadapan Allah," jawab bu Ratna.
" Nabi Muhammad sudah meninggal Bu. Kenabiannya sudah terputus. Tapi ada risalahnya, penerusnya. Kerasulannya. Dalam sebuah ayat suci AL-quran Allah menganjurkan untuk taat kepada Allah, taat kepada rasul, dan Ulil Amri. Apakah ibu sudah punya ulil amri?" tegas Fatimah.
"Ull Amri itu bukan suami, bapak, imam shalat, atau pun Pak presiden. Ulil Amri itu adalah pemimpin umat islam, khilafah," lanjutnya.
"Saya memang tdak sepandai Anda, tapi saya tetap pada keyakinan saya," jawab bu Ratna tegas. "Mila, sekarang kamu pilih, kembali ke rumah dan tetaplah pada aqidah yang orang tua kamu ajarkan, atau pergi dari rumah untuk selamanya,"tegas Bu Ratna.Â
Mendengar hal itu, Mila semakin terpukul. Bagamana pun, ia sudah mencintai ajaran barunya dan da sudah berikrar di hadapan para saksi. Dalam ikrar itu, salah satu isi dari ikrarnya adalah tidak berkhianat apalagi murtad. Namun, a juga punya keluarga dan orang tua yang membesarkannya.
"Mila yakin akan pilhan Mila, Ma, maafkan Mila," ucap Mila. Hatinya sebenarnya sangat hancur.Â
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H