Di sebuang ruang sunyi, dengan sedikit penerang cahaya yang dihasilkan dari layar monitor, sebuah laptop yang kini menjadi sahabat sejati yang setia menemaniku bekerja berjam-jam lamanya. Jenuh, selalu saja kata itu yang mewakili setiap saat aku tersadar dari fokusku pada sebuah tulisan, melepas penat dan rasa nyeri pada punggung belakang seraya menghela nafas panjang. merasakan setiap udara itu masuk pada aluran pernapasan, baunya lebam. tak khayal, AC dikamar kostku hampir tidak pernah dimatikan. karena aku sendiri sudah sangat jarang keluar, mengingat kembali betapa ketatnya prokes selama pandemi yang membosankan, disusul dengan kabar kematian yang gencar diberitakan, sejatinya aku bukan seseorang bernyali besar meski sekedar beli makan di warteg depan kost-an.
sejak 11 Maret 2020 silam, setiap langkah adalah sebuah ketakutan. setiap gerak adalah penghambaan, saat pikiranku dipenuhi dengan bayangan-bayangan paling mengerikan. Tentang mereka yang satu persatu jatuh terkulai dan berakhir dengan mengenaskan. siapa tak patuh, ia akan jatuh. siapa melanggar ia akan terdampar. siapa melawan ia berhadapan dengan kematian. rumah sakit penuh, beli obat di apotik harus sabar mengantri, beli vitamin C di super market sudah tentu akan kehabisan. Tak hanya itu, bahan pangan pun di rebutkan.
para buruh banyak yang di PHK, para kuli sudah tentu jadi pengangguran, PNS mengerjakan tugasnya di rumah, sekolah dan jalan ditutup, yang di perantauan tak bisa pulang mereyakan hari raya bersama keluarga, dan yang di kampung pun tak bisa seenaknya ke kota untuk mencari kerja.
Demonstran dimana-mana, para penguasa sibuk berdalih menutup diri dari cibiran masyarakat soal gaji buta, para buruh berupaya keras mempertahankan haknya untuk bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga, ironisnya, sebagian pihak menjadi para munafik, mengambil peran tiba-tiba menjadi ahli agama hanya untuk kebebasan semata dan melanggar protokol yang ada.
Entah, betapa banyak kekacauan dan kegaduhan alam sejak pandemi tiba.Â
setelah 6 tahun lamanya, aku seorang diri merantau ke Jakarta sepeninggal Mamah, ini pertama kalinya aku menemukan betapa sederhananya kehidupan dunia. Sesederhana tujuan hidup adalah mati. Sesederhana tujuan pertemuan adalah perpisahan, bukankah demikian Mah?
lihat saja anakmu, kini. bukankah belum lama gubuk tua bercahaya lampu 5 watt itu menyatukan satu keluarga yang lengkap dan bahagia. lalu sekarang satu persatu diantara kami hilang. Bapak, adalah awal tangisku pecah meratapi kehilangan. Mamah, adalah alasan kuat mengapa harus terbiasa hidup tanpa ketergantungan, dan kakak, kepergiannya adalah pelajaran besar agar aku paham sejatinya kita hidup dalam kesendirian.
Kini, aku bertarung hidup di kota metrapolitan. Tiada lagi kedamaian, apalagi kebahagiaan. Â Beberapa tahun lalu, aku masih begitu membenci keadaan yang memaksaku hidup sendirian. terlebih ketika aku lelah, terkadang aku butuh pelukan yang membuatku tenang dan merasa aman. Aku rindu, Mah.
Namun, kali ini bukan rindu yang ingin kuucapkan, tapi selamat jalan. selamat, Mamah, bapak, dan kakak sudah tenang di alam sana.Â
Mah, mamah perlu tahu, kini dunia sedang tidak baik-baik saja. Alurnya rumit. Jalannya mengerikan.
Mah, dunia sedang tidak baik-baik saja. Anakmulah yang menjadi korban kehancurannya.Â