Penyampaian yang tidak baik mencerminkan sikap yang tidak baik. Jika ingin menajdikan sesuatu itu baik, kerjakanlah dan sampaikanlah dengan cara yang halus dan santun. Dalam budaya Gayo strategi ini terdapat dalam filosofi adat mereka yang disebut dengan tuturan Peri Mestike (PM).
Peri Mestike menurut Joni (2017) adalah tuturan yang bijak dan bernilai suci yang mengandung makna filosofis dan melingkupi kandungan (1) Petunjuk, (2) aturan, (3) nasihat, dan (4) arahan. Selanjutnya, di dalam tuturan Peri Mestike yang disingkat dengan "PM" hampir keseluruhannya bernilai pendidikan.
Kemudian menilik pada pengertian pendidikan secara Etimologi pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu. Selanjutnya, Menurut Ki Hajar Dewantara (dilansir dari Wedan, 2016) menyatakan bahwa pengertian pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Jika ditilik dari maksud pendidikan bahwa pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya.Â
Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan sangat perioritas yakni sebagai alat utama dalam membentuk indevidu dalam menuju kebaikan dan untuk membentuk manusia menurut apa yang sudah dipesankan Allah SWT dalam Al-Qur'an, yaitu agar manusia itu berakhlaq dalam pengertian yang luas.Â
Hal ini seperti yang terdapat dalam QS. An Nahal ayat 125, yang artinya; "serulah manusia kepada jalan Tuhan Mu dengan Hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik".
Guna mencapai maksud tersebut perlu adanya usaha yakni, mengintegrasikan konsep Islam dengan konsep-konsep filosofis adat lokal setempat, seperti norma-norma yang terkandung di dalam konsep adat Gayo yang diwujudkan melalui tuturan Peri Mestike.Â
Konsep-konsep tersebut dapat mengisi ruhnya pendidikan itu sendiri yang dapat membangun karakter peserta didik dan memperjelas arah dari tujuan pendidikan itu sendiri.Â
Sehingga, dengan adanya usaha yang demikian kita dapat mengetahui warna dari pendidikan yang sebenarnya dan apakah pendidikan tersebut sudah sesuai seperti yang diharpkan ataukah masih jauh dari harapan. Hal ini dimaksud untuk membangun pendidikan yang bermakna dan memiliki ruh.Â
Intinya, untuk membangun pendidikan yang berakhlak mulia dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yang tidak dapat dipisahkan, artinya harus sekalian jalan secara bersamaan, yakni pendekatan relijius dan pendekatan filosofis yang bernilai agrapha (tuturan-tuturan bernilai filosofis) yang bersumber dari kearifan lokal, seperti hal yang terdapat di dalam budaya Gayo.
Salah satu wujud dari filosofis tersebut yang dapat dimaksudkan ke dalam membangun pendidikan yang bernilai akhlaq, seperti kajian-kajian tentang "Sumang" (Evanirosa, 2020) yang membatasi tindakkan-tindakkan dan perkataan mana yang tidak boleh dan yang seperti apa bernilai baik.Â