Riset yang penulis lakukan di tahun 2013  menggunakan Model evaluasi CIPP yang dikembangkan Daniel Stuffleeam. Model riset ini populer sejak dipublikasi pada tahun 1966 diungkap Wirawan(2011:91) evaluasi sebagai proses melukiskan (delineating), memperoleh, dan menyediakan, informasi yang berguna untuk menilai alternatif-alternatif pengambilan keputusan. Seperti ungkapan Stufflebeam dalam W.James Popham (1974:34) Keunggulan model CIPP memberikan suatu format evaluasi yang komprehensip  pada setiap tahapan evaluasi yaitu  tahap konteks, masukan, proses, dan produk seperti ditulis James Popham (1974:34).
Renzulli & Reis (2012:11) program penanganan siswa CI & BI telah menjadi lsboratorium penelitian dunia pendidikan, dan program ini memberikan peluang untuk menguji ide-ide baru dan bereksperimen untuk solusi jangka panjang, dengan tidak perlu terikat pada masalah-masalah aturan kurikulum tradisional yang mengekang.
Reni Akbar (2004:5) ditemukan dari 199 anak berbakat yang terjaring, 77 (38,7%) tergolong  underachiever. Penanganan anak berbakat menurut Conny Semiawan (2008:190) memerlukan penanganan khusus, yang bukan lagi dari atas ke bawah, melainkan manajemen berdasarkan keputusan sekolah secara bersama. Utami Munandar mengenai anak berbakat ini pernah berpendapat (1992:24) pada umumnya mereka ini kurang mendapat perhatian, padahal anak giftedness dalam hal ini, dianggap menyimpang sehingga harus diwadahi.
Dalam sebuah kebijakan terdapat sejumlah program-program. Farida Yusuf Tayibnapis (2008:9) mengungkapkan pengertian program adalah segala sesuatu yang dicoba lakukan seseorang dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh.
 Menurut Reni Akbar (1997:5) berdasarkan hasil penelitian pada 20 SMA unggulan di 16 provinsi, siswa yang memenuhi persyaratan hanya 9.8%. Hal ini tampak sejalan dengan hasil riset penulis yang dijelaskan di atas.
Namanya juga evaluasi pasti ada hasil dan rekomendasi yang di usulkan untuk sebuah perbaikan-perbaikan. Kelemahan hasil seleksi skala washler dalam riset tersebut ada dua organisasi penyelenggara  yang digunakan.  Hasilnya memang mendekati namun tetap bisa dibedakan antara dua penyelenggara ter IQ skala Intelegensi Wechsler tersebut.
Disamping itu, penggunaan istilah kelas bilingual dirasa kurang tepat, karena dilihat dari rancangan programnya bukan hanya sebatas penggunaan dua bahasa dalam proses pembelajaran. Tapi lebih mengarah pada mutu pelayanan dalam PBM.
Tampaknya tidak terlalu salah, jika ada publik yang menilai program itu, sebagai kelas bertarif Internasional. Karena pendidikan bermutu itu memang perlu biaya dan relatif mahal. Sejak istilah sekolah gratis di hembuskan para politisi Indonesia, jangan salahkan jika banyak orang strata upper class memilih lari ke pilihan sekolah di Luar Negeri. Atau memilih sekolah yang dikelola orang asing di Indonesia. Karena tidak ada pilihan. Putri Ariani yang bersekolah di Bantul, dan berhasil di AGT, kini layak jadi bahan kajian(waglo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H