Dunia pendidikan yang dahulu dilakukan orangtua di rumah, beralih ke sekolah dan kini hampir dikuasai oleh medsos.
Mari kita renungi kisah  internalisasi norma  lewat legenda yang dahulu diperankan orangtua dalam keluarga. Legenda yang dibumbui itu ada dampak baik dan dampak buruknya ? Tapi masih terkendali karena hadirnya orang dewasa yang jadi penyampai pesan moral itu.
Dampak negatifnya jika orang dewasa itu dangkal ilmu. Menjabarkan legenda atas dasar maluri liar karena keterbatasan.  Ceritera mistis yang dihembuskan para sesepuh kita, dapat menyuburkan budaya "Pesugihan."  Karena tekanan kehidupan akan melahirkan imaginasi liar. Kisah aliran seni "romantisme"  merupakan khayalan berlebihan akibat tekanan  situasi kemasyarakatan. Seperti halnya lagu-lagu cengeng di jaman "Orde Baru" Apakah itu ? Coba saja buka kisah lama tentang larangan pemerintah tentang lagu cengeng saat itu.
Tekanan terhadap kehidupan keluarga karena kemiskinan akibat kemarau dan tandusnya lahan. Melahirkan legenda khayalan tentang kehidupan "glamor" Alkisah seorang petani miskin yang memiliki gubuk kecil berada di hutan terpencil. Diceriterakan lokasi rumahnya jauh dari tetangga. Maklum jaman dahulu itu, penduduk masih jarang. Kehidupan rakyat nusantara kebanyakan dari upaya mengolah tanah sekitar tempat tinggalnya. Khayalan orangtua tentang kehidupan di sorga sering jadi hiburan.
Untuk "menina bobokan" anak cucu, biasanya para sesepuh sering memberikan sebuah hiburan lewat ceritera legenda pengantar tidur. Â Ceritera yang disampaikan alurnya disertai bumbu-bumbu yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga anak dan cucu mereka sangat patuh pada hukum alam, sesuai legenda yang dihembuskan para sesepuh lewat kisah- kisah ; Â Sangkuriang, Â atau kisah Jaka Tarub. Di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Tentu disesuaikan dengan kondisi tempat tinggal mereka. Dalam konten podcast di atas ini dibahas tentang ceritera "Sikancil & Buaya" yang bisa merasiki jiwa penuh rekayasa kelicikan.
Di pegunungan berkisar cerita tentang "Tengger" atau "Tangkuban Perahu." Jika di pesisir pantai biasanya berkisar "Nyi Roro Kidul" atau "Malin Kundang." Sesungguhnya banyak petuah yang ada di dalam ceritera itu. Dan para pendengarnya akan menerapkan anjuran dan larangan sesuai isi pesan dalam kisah yang dipaparkan sesepuh di keluarga tersebut.
Namun dampak  negatifnya, banyak di akibatkan  kisah berbau "animisme" dan "dinamisme"  hingga menjurus kepada pemujaan. Banyak generasi muda yang ingin bertemu dengan sosok dalam ceritera dan tidak jarang mengalami pengalaman nilai-nilai spiritual secara individual hingga sosok dalam legenda itu, diyakini sepenuh jiwa. Kita pahami orang kesurupan itu diantaranya karena kosongnya jiwa. Terlalu banyak berkhayal adalah latar diantaranya. Maka keseimbangan hidup sangat diperlukan.  Karena tanpa keseimbangan pola pikir akan lahir khayalan yang menyesatkan.
Entah halusinasi,  atau imajinasi. Jelmaan dari tokoh legenda itu, kadang mereka jumpai dalam mimpi, atau menjelma saat individu menyendiri berada di lokasi angker bahkan lokasi yang menakutkan. Lokasi itu akhirnya menjadi tempat yang menyenangkan dan bahkab dikultuskan. Hal negatif demikian ini hanya bisa dipecahkan lewat dunia pendidikan yang seimbang.
Lahirnya tempat pemujaan baru (kultus), sering  muncul dari pengalaman ghaib  individu yang disampaikan dari lisan kelisan yang terus berkembang dengan bumbu-bumbu berlebihan, lintas generasi.
Ajaran religi sesuai yang tertulis di kitab suci adalah solusi terbaik untuk menyaring kisah legenda yang mengarah pada kemusrikan. Legenda yang mengarah pada hal negatif bisa diluruskan lewat isi tulisan dari sebuah kitab yang diagungkan. Dengan demikian legenda yang kisahnya berkembang secara liar bisa diluruskan.
Peranan pendidikan lewat sekolah dengan kurikulum nasional adalah sebuah solusi. Tontonan lewat konten youtube saat ini sebagai pengganti orangtua menyampaikan pesan. Konten di medsos seperti youtube  lebih banyak hiburan yang menyesatkan ketimbang yang mendidik. Maka sebaiknya  lembaga pendidikan harus sudah mulai mengambil alih konten-konten itu. Banjirilah medsos dengan konten-konten berfilsafat. Yang tentu saja harus menghibur.
Para pengelola dunia pendidikan formal, harus sudah memulai menjamah podcast, membuat konten di medsos yang digandrungi siswa. Â Hubungkanlah PBM dengan konten yang dibuat guru. Maka peranan webshite produksi guru, produksi siswa, hingga channel youtube harus dalam kendali penyelenggara pendidikan (DN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H