Pertama saya mengenal siswa bernama Gohan alumni SMA1 Setu, Bekasi. Dia mencipta lagu di share di youtube. Ketika saya katakan untuk meminta ijin menggunakan lagunya sebagai ilustrasi Podcast. Ternyata dia sangat senang dihargai gurunya.
Untuk menghargai anak murid agar merasa dipromosikan gurunya, tentu dengan publikasi. Ternyata memanfaatkan lagu itu harus bayar lewat aplikasi Internasional. Youtube akan memperingatkan klaim hak cipta jika tidak transaksi dulu dengan organisasi itu di aplikasi. Berarti ?
Jika semua orang Indonesia mendaftarkan karyanya melalui prosedur aplikasi itu, berapa banyak uang  rakyat Indonesia mengalir ke luar negeri? Berarti permainan dunia global sungguh dakhsyat sekali.Â
Lagu yang tidak laku dipasaran saja jika didaftarkan lewat aplikasi harus mengisi rekening pemilik aplikasi itu. Hal ini, akan menyedot keuangan rakyat nusantara. Apalagi jika para pemula itu kini antri membayar demi hak cipta. Mereka para anak muda merasa bangga mengantongi hak cipta berbayar. Walau harus tekor tapi bangga karena kesohor. Itu adalah konsep sebagian anak muda kita saat ini.
Kita kembali ke dunia penerbitan Indonesia menyangkut ISBN. Kini banyak penerbit menyarankan menggunakan QRCBN. Tentang "Terbitkan Buku dengan QRCBN", saya baca di https://www.kompasiana. Kreator: Nurwendo Haricahyadi. Tampaknya ISBN jika diperketat  akan terlindas QRCBN. Namun jika pembelian buku perpustakaan dihubungkan dengan persyaratan penggunaan dana BOSS dalam setiap pembelia  buku, tentu akan berpengaruh.
Apakah uang negara bisa digunakan untuk membeli buku tanpa ISBN tapi  bisa juga buku yang menggunakan QRCBN ? Bagi penulis tidak akan jadi masalah. Namun siapa pemilik ISBN dan QRCBN ? Kita tunggu saja info tentang hal ini (DN).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI