Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Selamat Jalan Buya Ahmad Syafii Maarif, Selamat Datang Sang Penerus (Anak Jaman Selalu Hadir Menjawab Tantangan)

28 Mei 2022   11:24 Diperbarui: 29 Mei 2022   05:25 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama adalah perihal Islam Liberal. Julukan itu disematkan oleh Cendekiawan muslim Adian Husaini yang mengkategorikan Buya Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neomodernisme) yang diusung oleh Fazlur Rahman. Konon merupakan dosennya. Buya pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, membuat kecewa sebagian orang.

Zuly Qadir mencatat Syafii dan Hasyim Muzadi menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia. Ia ditulis sebagai kelompok senior dalam buku berjudul 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama. Sesungguhnya pandangan ini patut diduga, untuk merangkul Indonesia bagian timur dan barat secara harmoni. Hingga kini terbukti hiruk-pikuk itu masih dalam kerangka NKRI. 

Ancaman dari luar tidak bisa melibas Indonesia disamakan dengan musuh negara adi daya. Penguasa dunia menganggap Islam adalah teroris yang harus dimusnahkan. Pancasila  itu bukan Agama tertentu, yang tentu saja tidak bisa dilibas seperti negara yang terang-terangan mengaku dasar negaranya Islam. Irak jaman Sadam itu juga banyak mengangkat pejabat dari non muslim. Tapi tidak seperti di negara Pancasila. Indonesia bisa dekat dengan  presiden Putin karena  negara itu membela Palestina dan umat Islam di negaranya.

Tak hanya Syafii, nama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainya dianggap satu pemahaman. Muhamad Afif Bahaf juga menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Syafii. Banyak pemikir cerdik yang berpendapat jika pemerintahan terlalu menonjolkan keberpihakan ke Islam panatik akan disudutkan penguasa dunia. Kisah Sadam Husen, & Kolonel Kadafi yang harus jadi korban politik global. Senjata pemusnah masal di Irak itu hoax, tapi USA hanya sebatas minta maaf saja diatas puing-puing sisa perang.

Hal di atas itu, tidak boleh terjadi di NKRI. Walau harus berbenturan dengan umat  Islam panatik. Peristiwa UAS di deportasi  dari Singapura membuat publik terpecah. Pola pikir garis tengah diperlukan. Mengapa ? Bisa kita amati tentang meriahnya perayaan hari kemerdekaan Israel di Singapura. Karpet merah bagi koruptor Indonesia di negeri ini begitu nyata terbentang. Kajian kisah perilaku Nabi Khidir yang membuat  Musa menyerah. Ilmu Nabi Musa tampaknya tidak sepadan. Polemik di pikiran Nabi Musa memutuskan untuk menyerah dan bertobat kepada Allah. Dengan penuh pengakuan pada kehebatan manusia pilihan itu.


Kalau dikaji, dari kontroversi pendapat para tokoh diatas yang  berpolemik saat itu, sesungguhnya menuju pola pikir yang harmoni. Seperti dalam kisah Nabi Khidir, perbuatan yang berdampak. Bisa terbaca dan terbukti di masa depan (ilmu khikmah). Para tokoh di atas ini juga, mengusik pola pikir untuk menuai hasil diluar praduga masyarakat awam.  Diantaranya kontroversi:

1. Tuhan adalah Dewa Air.
2. Nabi Muhammad tidak Jaminan Masuk Sorga.
3. Ucapan "Selamat Pagi" lebih tepat dari pada Ucapan "Assalamualaikum"

Amarah para pendakwah lokal di berbagai daerah membuat langkah serangan  balik. Serangannya sering telak terhadap pendapat di atas. Dampaknya  begitu dakhsyat. Gairah penceramah semakin menggeliat mencari argumen untuk mematahkannya. Berbagai argumen turun bagaikan hujan yang deras dari langit. Tak jarang peristiwa itu jadi buah manis seperti hasil  kontroversi pendapat itu, melahirkan  ucapan salam secara Islami, di Radio, TV, hingga Rapat kenegaraan. Bahkan tak jarang Pidato resmi diawali Basmallah dan salam. Indonesia tampaknya sangat Islami.

Kembali ke Buya, pada November 2016, yang membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia membela dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Garis batas antara pro dan anti Ahok bisa di jembatani. Perbedaan itu mulia adanya. Penulis menilai almarhum sesungguhnya sejalan dengan mayoritas cendekiawan muslim lainnya. Jiwa kenegarawanan berani melawan arus, agar ada dialog persatuan di NKRI.

 Mengingatkan kita pada saat Bung Karno minta Jenazahnya di salatkan Buya Hamka dan terlaksana. Buya Hamka di penjara membuahkan karya besar Tafsir Al-Azhar. Karya tersebut dihargai dengan gelar profesor dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir


Pandangannya  Buya Maariif yang terkesan memihak Ahok ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini sesungguhnya banyak yang menilai sebagai tokoh pemersatu bangsa. (Kembalikan ke kisah Bung Karno & Buya Hamka di atas). Tugas negarawan itu sungguh berat. Buya Hamka begitu ikhlas menyolatkan jenajah Bung Karno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun