Mohon tunggu...
driand adi
driand adi Mohon Tunggu... -

manusia biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pengetahuan dan Penjara Keilmiahan

28 Mei 2015   13:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Para fenomenolog-sosial membela realitas sosial yang dihayati para pelakunya dari segala macam abstraksi sosiologis yang telah menyederhanakan realitas bersama dinamikanya itu. Realitas sosial adalah buatan tangan para pelakunya, dan bukan konstruksi pengamat atau ilmuwan sosial. Tugas pokok para sosiolog bukan lagi merumuskan konsep abstrak dan mengukur perilaku social, melainkan merekonstruksi proses yang melahirkan realitas sosial yang terstruktur secara semiotis. Dan jawaban metodologis bagi tugas ini adalah sebuah pendekatan kualitatif-partisipatoris.

Keberatan pun muncul terhadap tawaran metodologi Schutz. Fenomenologi sosial Schutz memang berpandangan bahwa pelaku sosial tertanam dalam sebuah dunia intersubjektif. Namun, ia belum bisa melepaskan bias subjektivisme yang diwarisinya dari fenomenologi transendental Husserl. Schutz berpendapat bahwa tiap upaya penjelasan ilmiah sebuah realitas sosial mesti merefleksikan makna subjektif dari mana sebuah realitas sosial berasal. Perspektif fenomenologis atas sosiologi Schutz mensubordinasikan analisis struktur sosial tertentu (peran dan institusi, norma sosial dan nilai, sistem dan tradisi) pada persepsi, penafsiran orientasi pelaku individu. Misalnya, peran domestik istri melayani suami. Nilai yang tertanam pada peran sosial tersebut harus dikembalikan pada tafsir subjektif masing-masing pelaku. Istri A misalnya memahami peran itu sebagai kewajiban "kompensasi" atas nafkah yang diberikan sang suami. Istri B memahaminya sebagai konkretisasi filsafat lokal "swargo manut-neroko katut" (ke mana suami pergi-surga atau neraka- istri ikut). Atau misalnya lagi nilai takut kehilangan pasangan dalam berpacaran dapat dikembalikan pada upaya mempertahankan stabilitas perasaan dalam proses hubungan yang terjadi. Hubungan perasaan ini dapat dilihat sebagai investasi yang telah ditanamkan dapat berupa konsep material yang bernilai ekonomis, non-ekonomis, dalam mendisiplinkan hubungan. Dan dapat dilihat juga sebagai penekanan perasaan tertentu sebagai suatu sikap mensubordinasikan egoisitas yang terealisasi dalam bentuk ketertundukkan maupun sikap patuh sebagai prilaku manifest dalam menjaga hubungan tersebut.

Habermas memandang pendekatan fenomenologis yang mengikutsertakan dunia kehidupan dalam analisis sosial sungguh menjadi koreksi tajam terhadap sosiologi objektivis. Namun, Habermas juga menggugat bias subjektivis dalam pendekatan fenomenologi sosial, khususnya yang digagas Schustz. Schutz menurut Habermas gagal menjembatani antara yang subjektif dan yang sosial. Norma, institusi, nilai dan lain sebagainya bukan produk kesadaran subjektif melainkan komunikasi intersubjektif. Dengan kata lain, intersubjektivitas yang dibagi bersama dalam satu lingkup sosial tertentu bukan realitas yang siap jadi (ready-made) melainkan dibangun secara sosial melalui komunikasi. Personal/pribadi menurut Habermas menginternalisasi secara subjektif apa-apa yang sesungguhnya dibangun melalui komunikasi intersubjektif. Prioritas para fenomenolog sosial pada kesadaran privat digeser Habermas menjadi prioritas pada relasi komunikatif. Pengalaman dan kesadaran harus memberi jalan bagi bahasa.

HERMENEUTIKA DAN KRITIK IDEOLOGI

Mengapa bahasa menjadi sangat penting dalam analisis sosiologis? Jawabannya ialah terdapat dalam filsafat bahasa Ludwig Wittgenstein terutama pada periode pasca positivisme logis. Filsafat bahasa Wittgenstein pascapositivisme melahirkan tesis kalau makna suatu bahasa tidak bisa dibingkai berdasarkan satu logika tunggal. Sebaliknya, harus ditemptkan dalam analisis permainan bahasa yang melingkupinya. Permainan bahasa-lah yang menurut Wittgenstein menentukan makna sebuah kata. Kata "autis" yang diucapkan seorang aktivis mahasiswa pada rekannya gagal dipahami kalau tidak menghayati permainan bahasa mereka. Sang aktivis mahasiswa tidak ingin menginformasikan sesuatu pada rekannya melainkan pernyataan control juga kritik konstruktif terhadap dinamika aktivitas keorganisasian yang telah dilakukan rekannya. Bahasa, karena itu, sangat erat terkait dengan perilaku sosial.

Belajar bahasa bukan sekadar belajar tata-aturan yang gramatikal sifatnya. Belajar bahasa adalah belajar apa yang boleh dan apa yang tidak dalam satu lingkup sosial tertentu. Dengan kata lain, belajar aturan permainan bahasa yang dimainkan oleh para pelakunya. Bahasa adalah hukum-hukum social yang sangat tergantung pada dinamika social sebagai pembentuk hukum-hukum tersebut. Misalnya, bahasa yang digunakan para petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota dalam kesehariannya akan berbeda dengan bahasa yang dipakai seorang mahasiswa dalam lingkup keseharian dalam studinya di kampus. Namun seorang pemuda petani, buruh, nelayan dan sebagainya akan sama bahasanya dengan seorang pemuda mahasiswa dalam menyatakan perasaannya kepada lawan jenisnya. Dengan demikian dinamika social menjadi factor objektif dalam menyusun permainan bahasa itu sendiri. Kesuksesan pemahaman sangat tergantung pada sukses-tidaknya dalam mengikuti permainan bahasa yang bersangkutan.

Orang pertama yang menggunakan teori bahasa sebagai dasar analisis sosial adalah Peter Winch. Seperti halnya para fenomenolog sosial, Winch menekankan kebermaknaan perilaku sosial dan prioritas pemahaman tentang struktur dunia kehidupan. Hanya saja, sejalan dengan kritik Habermas, struktur yang dimaksud bukan lagi struktur kesadaran melainkan struktur permainan bahasa. Sebuah perilaku yang bermakna memang diatur oleh pola-pola struktural. Namun hukum yang mengatur perilaku tersebut bukan sesuatu yang ajek. Melainkan, hukum yang dirajut oleh perilaku yang bersangkutan dan hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan perilaku yang melahirkannya. Karenanya, seorang sosiolog tidak dapat sampai pada pemahaman reflektif atas realitas sosial tertentu tanpa pertama-tama menghayati pemahaman nonreflektif para pelaku sosial. Misalnya, saat seorang sosiolog hendak menentukan apakah dua ujaran penutur asli adalah bagian dari sebuah aktivitas religius. Kriteria yang dipakai tidak bisa diambil dari sosiologi sendiri melainkan agama yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, sosiolog harus menghayati permainan bahasa religi yang menjadi objek kajiannya. Tawaran metodologis Winch adalah metode partisipatoris. Sosiolog dalam berhadapan dengan realitas sosial yang dikajinya jangan mengambil sikap teoretis-berjarak. Melainkan melebur dengan objek kajiannya guna menghayati betul permainan bahasa yang dimainkan. Dengan itu, sang sosiolog berusaha sebisa mungkin menunda segala cemar formula-formula sosiologis abstrak. Asumsi di balik tawaran metodologis Winch adalah kemampuan sosiolog untuk menyelami tuntas permainan bahasa objek kajiannya. Dengan kata lain, seorang sosiolog mampu menjaga jarak dari permainan bahasa-nya sendiri untuk loncat mencemplungkan diri ke permainan bahasa lain.

Habermas memiliki keberatan tersendiri atas metodologi Winch. Pertama, apakah mungkin satu permainan bahasa diterjemahkan secara sempurna ke dalam permainan bahasa lain. Ini adalah persoalan universalisme bahasa. Permainan bahasa sang sosiolog mau tidak mau mesti mempengaruhi penelitiannya. Kedua, metodologi Winch memuat konservatisme tersembunyi. Eksplorasi permainan bahasa yang diwariskan secara historis pada satu realitas sosial tertentu menafikan refleksi yang sifatnya kritik-ideologi. Tugas sosiolog hanya mendeskripsikan tuntas sebuah realitas sosial dan cuci tangan terhadap anasir-anasir ideologis yang termuat dalam realitas sosial yang bersangkutan.

Kesulitan dalam pendekatan verstehen mulai dari Weber, Abel sampai Winch adalah orientasi objektivis yang mengabaikan lingkaran permainan bahasa sang pengamat dalam sebuah penelitian sosial. Kesulitan ini menurut Habermas hanya bisa dinetralisir apabila kita berpaling pada pendekatan hermeneutis. Pendekatan yang dalam perkembangan teoretisasinya meninggalkan pendekatan objektivis guna memberi tempat bagi refleksi yang lebih bersifat ontologis.

Hermeneutika sendiri berangkat dari tradisi penafsiran teks suci. Sebab itu, pada awalnya ia disesaki oleh kosakata teologis. Dalam perkembangannya, hermeneutika memperlebar sayapnya pada teks-teks nonskriptural dan mendapat tenaga teoretisasi dari filsafat. Tapi dalam perkembangannya, hermeneutika tetap tidak bisa melepaskan diri dari asumsi-asumsi hermeneutika teologis. Hermeneutika yang bersifat normatif-dogmatis karena berorientasi pada otoritas teks dan mencari makna normatifnya untuk masa sekarang. Tujuannya adalah transmisi keyakinan dan norma tradisional untuk diterapkan pada persoalan kekinian. Tradisi hermeneutika ini kemudian menyusup pada hermeneutika filosofis yang ditawarkan oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey menggelar pendekatan hermeneutika yang bersifat psikologistik. Psikologistik di sini artinya menyelami konteks biografis sang pengarang guna menyingkap maksud sesungguhnya dari teks. Author di sini memegang the ultimate authority.

Kritik tajam terhadap pendekatan hermeneutika psikologistik Dilthey datang dari Heidegger. Bahasa menurut Heidegger berubah seiring bergeraknya sejarah. Setiap epos memiliki permainan bahasanya sendiri. Karena itu, sungguh mustahil menempatkan pengarang pada otoritas tertinggi penentu makna teks. Kita tak pernah lepas dari prejudis dan prasangka sejarah saat menghadapi sebuah teks. Heidegger dalam hal ini memandang penafsiran adalah modus eksistensi manusia. Manusia selalu sudah menemukan dirinya dalam dunia yang bermakna. Mereproduksi secara akurat bahasa dari masa lalu adalah mimpi siang bolong. Gadamer melanjutkan hermeneutika filosofis Heidegger dengan mengajukan sanggahan pada metodologi bahasa yang dianut Wittgenstein. Ketertanamanan pengertian pada epos sejarah dengan permainan bahasanya masing-masing tidak lantas menutup pengertian tersebut dari permainan bahasa lain. Gadamer menggugat relativisme bahasa. Permainan bahasa bukan sebuah sistem tertutup, tegasnya. Gadamer yakin pada universalitas rasio yang meliputi pelbagai permainan bahasa itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun