AGAK BEDA dengan filsuf dari zamannya, Sokrates sempat melontarkan semboyan yang cukup menggugah. Katanya "Hidup yang tak terperiksa tak layak dijalani!!" Semboyan itu menggambarkan bahwa hidup tanpa refleksi sama saja membiarkan hidup berjalan dalam kesalahan dan ketidakpastian. Dari pengertian Sokrates tentang hidup ini kemudian mengarahkan proses pemikiran manusia dengan dimensi kritisnya, yaitu berusaha kritis terhadap segala permainan kuasa yang mengurung cara pikir manusia. Sehingga Marx pun ikut menegaskan dengan provokasinya yang terkenal itu bahwa, "berpikir itu bukan semata-mata untuk menafsirkan dunia tetapi bagimana mengubahnya". Perubahan itulah, akhirnya yang melandasi cara pikir manusia terhadap dunianya, dengan demikian bisa dipertanyakan kualitas suatu pemikiran kalau ternyata tidak mengubah apa-apa. Apakah pemikiran itu yang sakit atau proses berpikir itu yang memang perlu dirumah sakitkan. Tapi kembali bahwa Sokrates-lah yang terus mengingatkan kalau dunia tak pernah sebagaimana adanya. Dunia berjalan di atas rel tradisi yang sarat mitos, ideology, dan kooptasi (juga pembenaran-pembenaran atas kesalahan yang dibenarkan).
Jejak Sokrates ini pun tidak kemudian ajek tapi semakin lama semakin lenyap seiring perkembangan sains dan penemuan-penemuan teknis yang mempengaruhi cara pikir manusia. Pemikiran pun kemudian diabstraksikan dengan melepaskan diri dari refleksi. Berbekal metode kuantitatif-empiris, sains mereduksi realitas pada dunia sebagaimana adanya. Sains tidak bertendensi apa-apa kecuali hukum sebab-akibat yang mengaturnya. Makna-makna insani pun diusir keluar dari proses pemikiran sains itu sendiri. Ini semua berpuncak pada penghujung abad 19 saat positivisme lahir dan mengumumkan doktrin kesatuan ilmu pengetahuian (unified science). Bahwasanya semua ilmu pengetahuan harus tunduk dan patuh pada batas-batas epistemologis, ontologis dan metodologis pada ilmu alam.
Namun sejarah selalu dapat menunjukkan jalannya sendiri untuk perubahan bahwa ditengah kesadaran mayoritas yang didominasi positivisme, muncullah kemudian melalui Institut Sosial Universitas Frankfurt, sekelompok intelektual Jerman yang dipelopori Max Horkheimer dan Theodore Adorno yang membangkitkan kembali semangat Sokrates-Marxian ini, dan merintis apa yang nantinya dikenal dengan sebutan Teori Kritis, yakni sebuah rumusan teoritis dari pelbagai disiplin ilmu (Multidisipliner dan multidimension) yang dimuarakan pada kritik ideologi untuk perubahan yang membebaskan (emancipation). Dengan Teori Kritis, positivisme pun dicibir sebagai pendukung setia konservatisme. Komitmen bebas nilai yang merupakan pembenar positivisme dituduh sebagai politik cuci tangan para ilmuwan terhadap perubahan. Realitas tidaklah seajek sebagaimana yang dipikirkan kaum positivis. Selanjutnya pemikiran-pemikiran Teori Kritis dari Horkheimer dan Adorno ini menjadi aliran tersendiri dalam ranah pemikiran barat, dan dikenal sebagai aliran Mahzab Frankfurt sebagai penyeimbang dari pemikiran-pemikiran positivisme yang ternyata dalam konteks prakteknya telah dimanfaatkan untuk membentuk dan menjaga stabilitas social dibawah hukum produksi Kapitalisme.
Jürgen Habermas sebagai penerus Max Horkheimer dan Adorno kemudian melanjutkan tradisi pemikiran Mahzab Frankfurt ini. Sebagai generasi kedua Teori Kritis, Jürgen Habermas lalu mengembangkan teori ini tidak saja bersifat praktis juga programmatis. Melalui programmatis Teori Kritis, Habermas telah merekonstruksi teori ini menjadi teori yang berpihak, berpijak, dan terlibat. Teori tidak saja menjadi teori yang kritis dan reflektif saja, atau hanya memberi arahan yang lepas dari basis material realitas konkretnya tapi merupakan panduan konkret bagi munculnya realitas yang emansipatif. Panduan konkret dari Teori Kritis ini terlihat misalnya pada Teori Tindakan Komunikasi (salah satu penajaman/turunan Teori Kritis), dimana Habermas menggagas mengenai syarat-syarat yang memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Pelbagai syarat yang beralas pada komitmen kesaling-pemahaman dan bukan sebatas efisiensi atau efektifitas. Selain itu, Habermas juga menawarkan sebuah alternatif metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Metodologi yang ditempatkan tidak hanya melukiskan, menerangkan, maupun menjelaskan realitas sosial secara prilaku/tindakan-tindakan social (behavioural) saja melainkan menangkap distorsi ideologis di balik itu, membongkarnya, mengatasinya serta mengkonstruksikan kembali pada perubahan yang emansipatif. Berbekal khazanah sosiologi, filsafat analitik dan hermeneutik yang cukup kaya, Habermas pun merumuskan sebuah cara pandang baru yang tidak saja kritis juga praktis. Cara pandang baru bagi metodologi yang kritis terhadap pendekatan positivis maupun pendekatan hermeneutis itu sendiri. Bagi Habermas kedua pendekatan tersebut terbukti sukar untuk melepaskan diri dari belenggu konservatisme. Belenggu yang menjadi musuh utama semangat Pencerahan Barat yang bertopang pada rasionalitas dan keberpihakan sains pada perubahan yang membebaskan. Upaya pembebasan ini merupakan tindakan rasional terlibat untuk menciptakan tatanan social kemasyarakatan dibawah hukum kebebasan yang menjamin keadilan.
Tulisan berikut ini akan lebih mengeksplorasi gagasan Jürgen Habermas yang akan difokuskan pada pemikiran-pemikiran dasar Teori Kritis, bahwa keberadaan teori dalam hal ini teori-teori social, teori-teori budaya, dan teori-teori pendidikan tetap ditempatkan pada basic teori itu sendiri yaitu praktek-prakteknya dalam dinamika social. Teori dirumuskan manusia untuk membangun tatanan ideal yang menjamin keberadaan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri dan bukan lantas mereduksi nilai-nilai tersebut dalam rumusan yang matematis serta standart-standart tertentu yang dilepaskan dari praktek-prakteknya. Teori yang telah mengasingkan nilai-nilai social/nilai-nilai kemanusiaan dalam identitasnya sebagai teori akan sarat dengan dimensi penguasaan dan dapat dijadikan pembenar terhadap upaya dominasi yang mencoba ditutupi oleh keilmiahan teori tersebut. Ilmiah akhirnya menjadi ilusi karena telah menyelubungi praktek penindasan dalam dinamika kemasyarakatan. Masyarakat teralihkan kesadarannya menjadi kesadaran palsu. Dengan sendirinya masyarakat tidak akan memiliki eksistensi dalam dirinya, karena eksistensi seperti dikatakan J.P. Sartre harus berangkat dari kesadaran kritis. Masyarakat tidak ditopang oleh kesadaran kritis masyarakat itu sendiri melainkan oleh logika dominant tertentu yang mencari keuntungan dalam praktek-praktek social, budaya, dan kemasyarakatan.
BUKAN REGULARITAS MELAINKAN MAKNA-MAKNA
Realitas sosial bukan realitas fisik! demikian para ilmuwan sosial mengkritik kesadaran pengetahuan kemasyarakatan yang telah dikonstruksi oleh positivisme. Weber menjadi salah satu pemikir social yang memperjuangkan ontologi sosial tersebut. Dalam kalimat pembuka bukunya "Economy and Society" Weber telah mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami secara interpretatif tindakan sosial guna mendapat penjelasan kausalistik tentangnya. Weber menggariskan bahwa regularitas sosial yang dipelajari sosiolog berbeda dengan regularitas fisik yang digarap fisikawan. Perilaku sosial memuat makna. Makna yang ditanamkan pelaku sosial secara subjektif dalam tindakannya. Dengan kata lain, tindakan sosial adalah tindakan yang bersifat intensional dan sarat nilai-nilai. Dengan demikian didalam upaya merumuskan pengetahuan tentang masyarakat perlu dipisahkan secara metodologis antara ilmu alam dan ilmu sosial. Realitas fisik yang identik dengan gejala-gejala alam didekati dengan metode kuantitatif-empiris sedang realitas social yang sarat dengan nilai dan makna menggunakan metode interpretatif. Pendekatan enklaren (menjelaskan) harus melepaskan diri dari verstehen (menafsirkan). Meskipun demikian, regularitas masih menjadi objek pencarian para sosiolog. Keyakinan bahwa regularitas mengatur seisi jagad raya masih menghinggapi filsafat sosial para sosiolog pascapositivisme.
Sebelum lebih jauh membahas persoalan itu, maka perlu dipahami dahulu apa sesungguhnya pendekatan verstehen itu. Seorang Weberian bernama Theodore Abel mendefinisikan verstehen sebagai proses yang bertolak pada penerapan pengalaman personal pada perilaku yang teramati. Pemahaman baru dapat diberlakukan sebagai pemahaman bila ada keterhubungan antar perilaku yang teramati secara parallel dengan sesuatu yang diketahui lewat introspeksi atau observasi diri. Beberapa karakter pokok verstehen adalah Pertama, tujuannya memahami tindakan berdasarkan makna subjektif yang tertanam di dalamnya, entah itu berupa motif-motif, keyakinan, nilai-nilai, dan emosi-emosi. Kedua, langkah-langkah metodologinya bergantung pada kapasitas introspektif yaitu internalisasi stimulus, internalisasi respon, dan penerapan maksim perilaku. Ketiganya bersandar pada penerapan pengalaman personal pada perilaku yang teramati. Ketiga, verstehen bukan metode verifikasi melainkan semata bantuan heuristik untuk mengkonstruk, memeriksa dan menggunakan hukum statistik sehubungan dengan sekuensi perilaku yang teramati. Sebagai contoh "seorang tetangga membelah kayu dan membuat api unggun sesudah terjadinya penurunan temperatur". Verstehen memungkinkan kita menghubungkan antara temperatur rendah dengan perasaan dingin dan perilaku yang teramati dengan upaya menghangatkan tubuh. Atau contoh lain: "penurunan angka rata-rata panen jagung di satu daerah diikuti dengan penurunan angka rata-rata pernikahan". Pendekatan verstehen memungkinkan kita menginternalisasi yang pertama sebagai "perasaan cemas" sedang kedua sebagai "takut akan komitmen baru" dan menggeneralisasinya sebagai "orang yang mengalami kecemasan akan takut menjalani komitmen baru."
Persoalan yang kemudian menjadi diskusi hangat di kalangan sosiolog pasca-positivisme adalah apakah makna yang tertanam dalam perilaku sungguh-sungguh subjektif. Â Sebagian sosiolog bertolak dari konsep Heidegger bahwa manusia adalah "ada-dalam-dunia" yang artinya menjadi manusia tak pernah sepenuhnya subjektif, ia tertanam dalam dunia intersubjektif dimana nilai, motif, makna didefinisikan bersama. Individu selalu menemukan dirinya dalam dunia yang diwariskan: nilai, pandangan dunia, peran yang terinstitusi, dan norma-norma sosial. Karenanya, verstehen harus juga menyertakan analisis latar kultural dan institusional yang memaknai satu perilaku tertentu. Di sebuah latar sosial-kultural yang berbeda, perilaku memotong kayu dan membuat perapian mungkin dapat ditafsirkan sebagai persiapan sebuah ritus sektarian tertentu. Perilaku sosial harus dipahami berdasarkan "permainan bahasa" kultur yang bersangkutan. Makna perilaku sosial sangat ditentukan signifikasi sosial yang menyelimutinya.
Pendekatan verstehen baik introspektif maupun kultural tidak dibiarkan melenggang begitu saja oleh kalangan behaviouris. Mereka pun menggugat, "Jika realitas sosial terstruktur secara maknawi, kata mereka, bagaimana bisa mengukurnya." Bukankah makna itu berada di relung terdalam batin yang tak terjangkau pengukuran kuantitatif. Bagaimana bisa ditarik sebuah kesimpulan umum sosial yang dapat digeneralisasi dari sesuatu yang subjektif sifatnya? Jawaban behaviouris atas kesulitan pengukuran itu adalah dengan mengabstraksikan perilaku sosial dalam satu konsep umum. Dan satu konsep yang sampai sekarang masih dipuja-puja para behaviouris adalah konsep pilihan rasional (rational choice). Konsep tersebut mengandaikan bahwa sebagai hewan rasional, tindak-tanduk manusia selalu beralaskan rasionalitas bertujuan. Rasionalitas dalam memilih sarana-sarana yang paling efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Teori pilihan rasional yang berinspirasi pada filsafat utilitarian Bentham, kemudian digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial manusia mulai dari politik sampai ekonomi. Teori ini berjejak pada sebuah postulat tentang manusia sebagai pengejar kepentingan diri pribadi. Sehingga melalui teori tindakan rasional bertujuan, tindak-tanduk manusia menjadi sangat mudah terprediksikan.
Abstraksi teoretis atas tindak tanduk manusia ini bukan berarti dapat bertahan dengan kebenarannya yang ajek, kaum fenomenolog-sosial kemudian mengecam keras tinjauan teoritis atas tindak-tanduk manusia ini. Abtraksi macam itu bagi fenomenolog-sosial seperti Alfred Schutz, diteruskan oleh Peter L. Berger sama saja telah meniadakan dunia kehidupan (lifeworld) para pelaku sosial. Sebuah dunia yang dihayati dalam spontanitasnya, saat segala teori atau konsep apapun belum mendefinisikannya. Habermas menegaskan sebagai dualisme antara penghayatan dan abstraksi sebagai dualisme antara dunia kehidupan dan sistem. Masing-masing memiliki logikanya sendiri-sendiri. Rasionalitas bertujuan yang mengatur system, berbeda dengan rasionalitas yang mengatur dunia kehidupan. Generalisasi rasionalitas bertujuan yang sangat ekonomis pada semua realitas sosial menjadi bentuk penjajahan. Realitas sosial nonekonomis menurut Habermas memiliki rasionalitasnya sendiri, yaitu rasionalitas yang berorientasi pada kesalingpemahaman dan bukan semata-mata efisiensi dan profit ekonomis.