Perayaan HUT TNI ke-79 pada tanggal 5 Oktober 2024 menjadi salah satu acara besar yang menarik perhatian masyarakat di seluruh Indonesia. Perayaan ini berpusat di Jakarta, tepatnya di kawasan Monumen Nasional (Monas), yang menjadi simbol kebanggaan dan daya tarik Ibu Kota. Aksi spektakuler dari pesawat-pesawat tempur yang melintasi langit Jakarta, atraksi terjun payung dari puncak Monas, dan upacara resmi yang diadakan di lapangan Monas berhasil mengundang antusiasme ribuan orang. Masyarakat dari berbagai daerah berbondong-bondong datang untuk menyaksikan langsung perayaan ini. Namun, di balik kemeriahan dan kebanggaan atas pencapaian militer Indonesia, muncul beberapa masalah yang justru mengurangi kenyamanan acara tersebut.
Salah satu masalah yang sangat terasa adalah kemacetan di kawasan sekitar Monas. Jalan-jalan utama di sekitar Monas, seperti Menteng, Cikini, dan Gambir, berubah menjadi lautan kendaraan yang hampir tidak bergerak selama berjam-jam. Jalanan yang padat mungkin sudah menjadi pemandangan umum bagi warga Jakarta. Namun, pada perayaan kali ini, masalahnya bukan hanya jalan yang macet; trotoar pun turut menjadi korban dari kemacetan ini. Banyak orang yang ingin menyaksikan perayaan di Monas membawa kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Sebagian oknum yang melihat potensi ini mulai menawarkan trotoar sebagai tempat parkir alternatif, membuat pejalan kaki kesulitan untuk melintas dengan nyaman.
Trotoar yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pejalan kaki justru berubah menjadi tempat parkir dadakan. Tidak sedikit yang mengeluh bahwa trotoar penuh sesak oleh kendaraan, sehingga mereka harus berhimpit-himpitan atau bahkan berjalan di pinggir jalan, yang tentu sangat berbahaya. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga tata tertib di ruang publik, terutama dalam penggunaan trotoar yang semestinya dikhususkan bagi pejalan kaki.
Idealnya, pihak berwenang, seperti polisi atau petugas keamanan acara, dapat bertindak tegas untuk mencegah penggunaan trotoar sebagai tempat parkir ilegal. Namun, pada kenyataannya, tindakan seperti ini tampak minim. Banyak warga yang menganggap bahwa penggunaan trotoar untuk parkir adalah hal yang biasa, bahkan sudah dinormalisasi. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat tentang etika ruang publik dan tata tertib lalu lintas.
Masalah ini tidak lepas dari faktor pendidikan dan kesadaran kolektif masyarakat. Pendidikan di Indonesia seharusnya mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang bukan hanya berpengetahuan, tetapi juga memiliki karakter kuat untuk menjaga aturan dan menghormati hak bersama. Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pernah menekankan pentingnya seorang pemimpin menjadi teladan bagi masyarakat, dengan mengedepankan prinsip "Ing Ngarso Sung Tuladha," dimana seorang pemimpin memberi contoh di depan. Dalam konteks ini, baik pemimpin maupun masyarakat umum harus mampu menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain, terutama dalam penggunaan fasilitas publik.
Kepatuhan terhadap aturan di ruang publik bukanlah sekadar bentuk penghormatan terhadap hukum, tetapi juga cerminan dari kesadaran kolektif masyarakat. Di negara-negara lain, ketertiban umum ditegakkan secara tegas karena adanya sanksi yang jelas dan diberlakukan tanpa pandang bulu. Seharusnya, Indonesia juga dapat menerapkan hal serupa, di mana pihak berwenang dan masyarakat bekerja sama untuk menjaga fasilitas umum seperti trotoar sebagai milik bersama. Trotoar bukanlah fasilitas parkir darurat atau tempat berjualan, melainkan area khusus yang dirancang untuk kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
Ketidaktertiban di ruang publik bisa diibaratkan seperti noda kecil yang mengotori pakaian putih. Meski terlihat sepele, kebiasaan yang dibiarkan lama-kelamaan akan merusak citra keseluruhan. Sama halnya dengan trotoar yang digunakan sebagai tempat parkir liar; semakin banyak tindakan tidak tertib yang dibiarkan, semakin terbentuk pola kebiasaan yang sulit diubah. Oleh karena itu, ketertiban di ruang publik seharusnya menjadi fondasi yang harus selalu dijaga agar tidak terkikis oleh egoisme atau kepentingan sesaat.
Pemandangan di sekitar Monas pada perayaan HUT TNI kali ini memang menjadi ironi. Di sepanjang trotoar, sepeda motor terparkir rapat, sehingga pejalan kaki, termasuk anak-anak, orang tua, hingga wisatawan dari luar kota, harus berhimpit-himpitan untuk mencari celah yang cukup untuk lewat. Situasi ini diperburuk oleh kebisingan klakson dari kendaraan yang mencari tempat parkir, yang semakin menambah ketegangan di sepanjang jalan. Tujuan utama dari trotoar sebagai tempat aman dan nyaman bagi pejalan kaki seolah memudar di tengah kesemrawutan ini.
Perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk menjaga ketertiban ruang publik di Indonesia, terutama di Ibu Kota. Pemerintah dan pihak keamanan harus lebih tegas dalam menertibkan penggunaan trotoar, sementara masyarakat perlu terus di edukasi tentang pentingnya menjaga tata tertib di ruang publik. Dengan begitu, fasilitas umum seperti trotoar bisa berfungsi optimal, memberikan rasa aman dan nyaman bagi pejalan kaki, serta membentuk wajah kota yang tertib dan beradab. Tanpa kesadaran kolektif dan ketegasan dalam menegakkan aturan, peristiwa serupa hanya akan terus berulang di setiap acara besar, dan trotoar akan tetap menjadi lahan parkir dadakan alih-alih ruang bagi pejalan kaki yang membutuhkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H