Aku berdiri termangu ditengah keriuhan orang-orang yang mengeluarkan suara berdengung bak sekumpulan lebah, mengerumuni loket, berebut secarik kertas legalitas memasuki ruang pertunjukan. Sibuk memilih sudut terbaik menyaksikan scene yang telah dilatih selama hampir 6 bulan terakhir. Aku memandang semua keributan itu tanpa tahu harus berbuat apa. Kukeluarkan gadgetku, kemasukkan kembali, urung ku telpon dia. Dalam kesibukan macam ini, tak mungkin dering telepon terdengar. Tengah mempertimbangkan tindakan yang harus kulakukan, sesosok tubuh melintas tertangkap ekor mataku. Kuamati dan kukenali melalui foto yang dia pasang di sosmednya.
Cepat kukejar langkah lebarnya, setengah berteriak kupanggil namanya. Selangkah tertinggal, kuulurkan tanganku sepanjang gurita menangkap mangsa, hup, tertangkap, dan dia berhenti. Memandangku setengah marah, karena menghentikannya dari ketergesaan yang membuatnya tertunda dalam sebuah acara penting. Sorotnya mengandung dua makna dengan jelas terbaca bak buku yang terbuka. Kejengkelan dan keheranan, karena tak mengenalku. Kuberikan senyum termanis yang bisa kuberikan ditengah kebingungan yang melandaku. Dialah saat ini harapanku.
“Nug, ini aku Nuu,”Tercekik suaraku keluar dalam upaya yang singkat membuatnya mengenaliku. Jika dia menolak mengenaliku, habis sudah aku, harus menunggu sampai semuanya usai. Dan aku tak ingin itu terjadi. Sekarang, aku ingin sekarang.
Keningnya mengernyit, menggali ingatan, dimana kiranya dia mengenaliku. Wajah memelasku tampaknya memiliki pengaruh terhadap sikap tubuhnya yang mulai melunak dari menegang marah. Dan akhirnya,”Aahh… Nuu.. wwooww.. sampai juga kamu ke sini. “ Binar matanya memandangku riang sekaligus kejutan tak disangka. Aku menganggukkan kepalaku dan senyum legaku terpancar. “Ah, ayooo… “ Tanpa menunggu kata-kataku selanjutnya, Nug setengah menyeretku menuju belakang panggung, tempat yang memang ingin kukunjungi sejak pertama kakiku menjejak tempat ini. Melewati lorong-lorong panjang, berbelok diantara kelokan sampailah kami di belakang panggung.
Keriuhan yang tak kalah dengan bagian depan. Kain-kain bergelantungan. Hilir mudik orang-orang membawa kotak, berpapasan dengan sekelompok lain menggotong perkusi. Beberapa terlihat menenteng gitar. Sebagian lain sibuk memasang asesoris di tubuh sembari berkaca memantaskan diri. Semua sibuk. Nug, gesit melintasi semua kesibukan itu menuju seorang laki-laki yang tengah memberikan instruksi pemasangan beberapa properti panggung. Suaranya tegas dalam. Suara yang kurindukan selama ini. Sampai juga aku disini, untuk mendengarkan suaramu. Kutempuh perjalanan jauh hanya untuk ini. Menuntaskan rinduku akan suaramu. Telaga bening muncul di pelupuk mataku. Mengalir membentuk sungai kecil menyusuri pipiku.
Nug, menggamit lengannya, setengah mengibas, dipandangnya Nug, setengah kesal, seolah berkata pada Nug, betapa sibuknya dia. Nug, tak kalah ngotot, dia menuding tempatku berdiri, dan memaksa dia menolehkan wajahnya padaku. Memandangku yang berdiri mematung, dengan mata basah.
Wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan. Matanya nanar seolah tak percaya aku di sana. Terdiam sekian detik, pukulan Nug dipunggungnya menyadarkan dia, melangkah mendekatiku. Aku tersenyum dan tertawa diantara derai air mata. Dia mengulurkan tangannya,”Halo, kita ketemu juga, akhirnya.” Aku menyambut uluran tangannya masih dengan tawa dan air mata.
Ditariknya tanganku masuk dalam peluknya. Aku balas memeluknya erat. Tak peduli banyak orang menyaksikan adegan itu. Kami tak peduli. Aku semakin larut dalam tangisku, tergugu mengisak didadanya. Mendengarkan detak jantungnya yang begitu nyata.
Semenit larut dalam isak tangis. Aku mengangkat wajahku, melepas pelukan, tak bisa berkata-kata.
“Kamu, jangan kemana-mana lihat dari sini saja. Oke?” Perintahnya.
“Aku, tak mengira kamu datang,” Senyumnya lebar menyiratkan kebahagiaan. Dan aku tentu saja terbang ke langit tujuh melihat senyum itu. “Aku juga tak mengira bisa senekat ini. 36 jam perjalanan kutempuh untuk ini. Sepadankah?”Tanyaku dengan senyum lebar.
“Akan kubuat sepadan. Sabar dan tunggu ya? Aku .. hmm.. itu.. yeaa.. kamu tahu kan maksudku?” Tanyanya.
Berderai tawa kami. “Ya.. ya aku paham maksudmu. Kau sibuk dengan pementasanmu. Oke kutunggu dan kulihat aksimu dari sini, seperti permintaanmu,” Kataku menenangkannya.
“Ya.. yaa…” Setengah melompat dia berjalan menjauh. Kupandang punggungnya, mendadak berbalik arah setengah berlari kearahku lagi. Terheran aku, mendekat dia, bibirnya melintas dikeningku. Aah.. kudorong dia menjauh. Terbahak berlari menuju tempat tadi, diiringi riuh sorakan yang menyaksikan kami. Merah padam wajahku. Baru sekarang terasa rasa malu menjalari wajahku. Sudahlah. Ini belakang panggung kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H