Mohon tunggu...
Noor Azizah
Noor Azizah Mohon Tunggu... pelajar -

email baru avantidm@gmail.com. terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Marah (1)

26 Juli 2016   22:06 Diperbarui: 1 September 2016   00:36 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Biaya untuk kos, kami gabung jadilah sewa apartemen ini. Biaya makan kami gabung, jadilah uang belanja. Sedangkan gabungan uang jajan, untuk keperluan lain. Aku punya penghasilan meski tak besar dari honor menulisku sebagai content writer dan review product online. Abang, menerima les matematika anak SD dan punya online shop sneaker.

Hasilnya kami gunakan untuk main atau makan keluar. Tentu saja kami tak bisa minta tambahan uang saat kekurangan atau uang kami habis sebelum ada transferan. Malu rasanya. Sebelum menikah sih, enteng saja bm Bunda minta tambahan uang. Setelah menikah, dih..

Aku jadi belajar mengelola keuangan kami supaya tak kehabisan sebelum ada transferan. Aku jadi belajar mengatur menu makan kami supaya tetap bisa bertahan hingga akhir bulan. Dan aku jadi belajar mengolah bahan mentah yang sama menjadi aneka masakan sehingga tak bosan memakannya. Saat ada kelebihan uang, menu kami jadi sedikit “mewah”.

Ada ayam atau ikan bakar diatas meja makan. Saat berhemat, aneka olahan tahu dan tempe bergantian muncul menemani kami makan. Semua hal tersebut tak jadi masalah. Kami berusaha membereskan masalah kami sendiri. Mengingat betapa berat kami menyakinkan orang tua kami agar bersedia merestui keputusan kami untuk menikah meski masih dalam status “mahasiswa”.

Pernikahan kami tak dirayakan megah tentu saja. Cukup di halaman belakang rumah saja. Dibawah pohon mangga, yang disulap cantik dengan gantungan aneka warna  lampu led dan beberapa lampion gantung. Penerangan halaman diganti dengan obor. Meja untuk makan merayakan pernikahan diterangi dengan lilin.

Dekorasi tak menggunakan panggung atau pelaminan. Cukup kain sifon putih disampirkan pada pohon sekitar lainnya seperti tirai putih. Melambai syahdu tertiup angin. Tak banyak tamu undangan. Hanya keluarga inti ditambah adik atau kakak ayah bunda dan mama papa Abang, Ketua RT selaku saksi, dan penghulu yang menikahkan kami.

Malam itu kami resmi menjadi suami dan istri. Berbagi saat kaya dan miskin. Tertawa dan menangis dalam suka dan duka. Memiliki satu sama lain. I’m yours. He is mine. Nothing to be worried. Sampai pada akhirnya…

(to be continued)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun