Milenial dan Gen Z Rawan Terpapar Radikalisme, Begini Cara Melawannya
Pembahasan : Memberikan gambaran bahaya radikalisme terhadap gen-z & milenial
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman budaya begitu besar. Namun, bangsa ini juga menghadapi tantangan besar di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Salah satunya, adalah radikalisme yang berpotensi merusak kemajemukan bangsa ini.
Radikalisme merupakan sebuah paham yang menghendaki adanya perubahan sosial dan politik dengan langkah kekerasan. Paham ini kemudian juga mengacu terhadap sikap ekstrem dalam sebuah gerakan politik.
Paham ini menghadirkan bahaya yang mengancam stabilitas dan kedamaian negara. Salah satu penyebab gerakan ini adalah faktor sentimen agama, termasuk aksi solidaritas untuk golongan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Namun, lebih mengarah sebagai faktor emosi keagamaannya.
Ancaman Radikalisme
Meluasnya isu radikalisme memang semakin nyata. Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, generasi milenial rentan terpapar paham radikal. Pada 2020, tercatat indeks probabilitas radikalisme di masyarakat perkotaan menembus 12,3 persen.
Lalu, indeks kemungkinan radikalisme pada generasi Z berada di angka 12,7 persen. Sementara, untuk kalangan milenial potensi paparan paham tersebut mencapai 12,4 persen .
Berdasarkan catatan Badan Intelijen Negara (BIN), pada 2020 sekitar 16.000 aktivitas jaringan terorisme ISIS memanfaatkan media sosial sebagai alat propaganda. Kemudian, ada 160 grup media sosial yang dibuat untuk membangun kelompok jaringan.
Berbagai tindakan teror yang tidak jarang memakan korban jiwa ini menjadi cara para pelaku paham radikal dalam menyampaikan falsafah mereka untuk mencapai perubahan.
Propaganda pun meluas tidak hanya pada lingkup masyarakat umum saja, melainkan generasi muda. Hal ini tentu saja menjadi ancaman nyata terhadap generasi muda di Indonesia.
Yang terbaru, pelaku aksi bom bunuh diri hingga tindak kekerasan yang menyasar pada unsur-unsur keamanan negara juga tidak selalu dilakukan oleh pelaku berpengalaman. Namun, justru pelakunya adalah milenial dan gen Z yang notabene adalah pemain amatir.
Contohnya, pasangan suami-istri yang berperan sebagai pelaku bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar, kemudian seorang perempuan pelaku aksi penyerangan Mabes Polri, dan beberapa aksi bom bunuh diri di Indonesia. Mereka merupakan  generasi muda yang telah terasuki paham radikal.
Langkah Milenial dan Gen Z Melawan Radikalisme
Generasi milenial adalah agen perubahan, sekaligus pionir utama untuk melawan radikalisme. Mereka harus aktif dalam berbagai kegiatan positif, aktif di kegiatan kampus, olahraga dan lainnya agar dapat menjadi pribadi berprestasi. Dengan begitu, mereka akan mampu dalam mengantisipasi dan menutup pintu masuk paham radikalisme. Aktiflah menyampaikan pesan damai.
Pendidikan tentang bahaya radikalisme kepada anak muda menjadi hal yang sangat krusial. Dengan mendapatkan paparan edukasi tentang hal ini, mereka akan lebih peduli terhadap kehidupan masa depan.
Mengembangkan pendidikan yang inklusif, terbuka, dan toleran merupakan langkah ampuh untuk mencegah gerakan terorisme sejak dini.
Paham radikalisme dapat masuk lewat cara membelokkan pengetahuan agama dalam ranah pendidikan, yang pada akhirnya mencoreng nama baik agama. Maka, perlu adanya evaluasi dalam pembelajaran mata pelajaran agama. Demikian pula kegiatan di luar kelas, seperti kelas ekstrakurikuler.
Di sisi lain, Pancasila sebagai dasar negara bisa menjadi penangkal masuknya radikalisme. Apabila nilai-nilai dasar ini tetap terjaga, maka bangsa Indonesia tidak perlu khawatir akan pengaruh radikalisme tersebut.
Pada era globalisasi ini, Pancasila adalah sebuah tiang penyangga sekaligus dasar hidup yang dapat menjadi solusi atas setiap tantangan yang akan bangsa ini hadapi.
Sementara, Gen Z juga menjadi sasaran empuk paham radikalisme lantaran mereka juga masuk kategori sebagai pengguna aktif berbagai platform media sosial. Maka, sangat penting bagi para pemangku kepentingan seperti pemerintah untuk masuk dalam dunia digital.
Pemerintah bisa bertindak sebagai filter. Tujuannya, agar media sosial tidak dibanjiri paham radikal. Dengan begitu, para pemuda tak tersesat dalam dunia digital
Untuk melawan ancaman tersebut, negara wajib hadir sebagai penegak hukum, terutama dalam mengatasi ajaran ujaran kebencian, serta memberikan pendidikan berupa literasi kepada masyarakat. Sehingga mereka mampu membedakan mana informasi yang benar, mana yang buruk.
Keterlibatan generasi muda dalam jaringan terorisme tidak lepas dari kekecewaan terhadap kondisi di sekitar. Seperti kondisi ekonomi, sosial, hingga politik. Kemudian, krisis kepercayaan diri yang membuat mereka merasa tidak memiliki manfaat untuk lingkungan sekitar.
Untuk itu, bekali diri dengan banyak pengetahuan, jadilah generasi muda yang inovatif dan kreatif dalam berkarya. Bukalah pikiran dan memandang secara terbuka.
Para influencer juga bisa berperan untuk menarik generasi muda dalam menyebarkan hal-hal positif. Dibutuhkan orang-orang yang bisa untuk lebih diterima kalangan muda.