Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kobaran Api di Mata Bulan

10 Juli 2024   17:56 Diperbarui: 1 September 2024   21:54 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oh bunda.. 

ada dan tiada dirimukan selalu ....

ada di dalam hatiku!"

Hampir semua murid tampak menghayati lagu tersebut. Namun tidak dengan salah seorang murid yang duduk di meja baris kelima. Hal ini disadari oleh Bu Sira beberapa jenak sebelum alunan keyboard di hadapannya ia hentikan.  Sekali lagi ia coba meminta siswa-siswanya itu untuk bernyanyi di setiap bait secara berkelompok.

" Ayo, meja baris kiri terlebih dahulu, disambung baris sebelahnya!"

Memang setiap minggunya bu Sira punya agenda mengadakan praktik bernyanyi bersama di kelasnya.  Bu Sira  memang fokus di vokal dan musik. Bu Sira hampir selalu berhasil membuat muridnya bersemangat di pelajaran seni budaya. Kendati demikian, pagi ini Bu Sira agak kaget setelah mengamati murid-muridnya estafet bernyanyi.  Mengapa Bulan tidak seperti biasanya? Padahal Bu Sira sudah memilih Bulan sebagai andalannya untuk perlombaan grup vokal nanti. 

Bulan adalah remaja sekolah yang sebentar lagi akan naik ke kelas dua SMA. Sekilas awalnya memang Bulan dikenal sebagai murid yang riang. Namun bu Sira kini tidak menemukannya. Ia baru menyadari kalau ada kejanggalan di balik sorot matanya. Seperti ada kobaran api yang tidak biasa ditemukan di anak-anak seumuran mereka. Terlebih ketika sedang bernyanyi tadi, kobaran api itu dirasakan oleh bu Sira lebih jelas dan terasa panas di dadanya.

" Ya baris kelima, dari depan sampai belakang keluarkan suaranya ya!"

Bulan adalah muridnya yang duduk di meja baris kelima itu paling kanan itu. Matanya terlihat indah sekaligus kelam. Mirip seperti namanya, sorot mata Bulan bercahaya namun penuh misteri. Itu yang dapat ditangkap oleh Bu Sira mengenai bulan hari ini.


Jiwa muridnya yang satu ini sedang bersedih.  Terdengar aneh memang. Ya, tapi begitulah kemampuan Bu Sira. Ia paham betul keadaan jiwa muridnya.  Kemampuan itu mungkin anugrah atau itu berkat jam terbang mengajarnya. Maklum dia sudah hampir tujuh belas tahun mengajar seni. Dan kali ini juga sangat meyakini bahwa muridnya, Bulan sedang tidak baik-baik saja.

Kesenian memang mengenai keindahan namun bagi Bu Sira lebih dari itu. Musik bagi Bu Sira dapat secara langsung membantunya untuk mengenali jiwa-jiwa muridnya. Menurut bu Sira, mata itu merespon lagu. Mata manusia itu bernyanyi, melantunkan nada-nada pada jiwanya. 

Kini bu Sira harus memanggil Bulan ke ruangannya.

***

Bulan membuka pintu ruangan Bu Sira. Tempat itu tampak dipenuhi oleh banyak lukisan dan juga alat musik. Dari instrumen musik tradisional seperti angklung, hingga modern seperti gitar dan keyboard.

" Bulan, silakan duduk dulu."

 " Maaf ada apa ya bu?"

Laptop sudah terpaut dengan speaker kecil di bawah meja kerja Bu Sira.  Terdengar lantunan lagu, " ambilkan bulan Bu,  ambilkan bulan Bu,  yang selalu bersinar di langit..." menggema di dinding ruangan. Bu Sira duduk di hadapan Bulan. 

" Kamu tau lagu ini kan? Menurutmu  bagaimana?"

" Tau bu, ini lagu anak-anak kan? Ya bagus kok lagunya."

" Ya lagu di kelas tadi juga bertema sama. Karena ini hari ibu maka saya pilih tema lagu-lagu yang seputar itu. "

" Em ..iya bu."

Kobaran api di dalam mata Bulan muncul kembali. Suasana terasa gerah bagi bu Sira. Kobaran di mata Bulan terus membesar seiring lantunan lagu yang bu Sira putar.

 " Sudah berapa kali kamu mendengarkan lagu ini? Saya sudah mengajar banyak siswa. Dan kamu istimewa. "

   " Apa istimewanya , Bu?"

  " Kamu menyimpan kesedihan, tapi kamu tetap bernyanyi."

Bulan agak canggung melihat bu Sira tia-tiba berdiri dari kursinya lantas meningkatkan volume speaker di bawah mejanya. Ruangan itu hampir terpenuhi oleh bunyi nyanyian.

"Sebenarnya, aku tidak suka lagu ini dan aku tidak suka menyanyikan lagu di kelas tadi."

" Kamu yakin Bulan? Semua ada penyebabnya."

 Bu Sira menangkap emosi yang mulai tak tertahankan dari Bulan.

" Aku bingung, aku benci ibuku," air mata bulan jatuh.

***

Suasana ruangan kini membuat bu Sira merinding. Lagu masih terputar.  Bulan  menahan sedu -sedannya. Ia ingin bicara tapi terhalang oleh nafasnya sendiri.

" Apakah kamu yakin dengan perasaanmu? Kamu harus mencintai ibumu ! Apa pun kenyataannya!"

" Aku membencinya karena aku tak tahu siapa ayahku!"

 Air mata Bu Sira tak tertahankan.  Dia beranjak dari kursinya memeluk erat-erat Bulan. Ia rasakan panas menjalar ke badannya. Ia  merasakan rapuhnya jiwa bulan. Kobaran api di mata Bulan sempat menyala-nyala lantas kemudian perlahan meredup, dibasahi oleh air mata Bulan, juga air mata Bu Sira.

Marendra Agung JW. Juli 2024.

https://bit.ly/KONGSIVolume1 

Sumber gambar: Kompasiana.com
Sumber gambar: Kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun