Ramadan sudah berjalan lebih dari sepekan. Rasanya menarik juga mencari makna ramadan secara personal. Siapa tahu dapat menginspirasi bukan?Â
Kalau dalam pembelajaran membaca, siswa dan guru Bahasa tentu mengenal istilah makna tersurat dan makna tersirat. Makna tersurat adalah makna asli dari suatu kata-kata atau kalimat secara harfiah. Sedangkan makna tersirat adalah makna yang terkandung atau makna tambahan yang berasal dari balik kata-kata yang tampak.
Seperti pada kalimat "Apakah kamu sudah makan?" yang secara tersirat dapat bermakna ajakan untuk makan bersama. Walau secara tersurat adalah bentuk pertanyaan kepada kamu.
Sama halnya dengan kalimat, Nikmat mana lagi yang engkau dustakan? Secara tersurat itu memang sekedar bertanya, namun secara tersirat bisa jadi itu anjuran agar engkau bersyukur.
Sederhananya, makna tersurat dapat dipahami secara langsung dari bahasa yang digunakannya (kalimat) dengan cara membacanya saja. Sedangkan makna tersirat dapat dipahami dari konteks dan pengetahuan dalam lingkup budaya atau yang lebih luas lagi dari bahasa. Sehingga kita juga perlu "merasakan" sesuatu yang ada di balik bahasa. Kira-kira seperti itu pemahaman saya tentang "makna" dalam teori semiotik bahasa.Â
Untuk itu, saya kira aktivitas-aktivitas khas di bulan ramadan dapat dipahami makna tersiratnya. Bulan ramadan yang merupakan bulan puasa bagi umat muslim, rupanya dapat menjadi momen pertumbuhan diri, terutama dalam membangun cara berjuang untuk menempuh tujuan.Â
Berikut ini, saya uraikan tiga makna yang dapat saya gali dan rasakan dari momen ramadan ini.Â
1. Setia terhadap waktu: melatih konsistensi penuh untuk mencapai tujuan.
Selama satu bulan penuh kita dilatih untuk bangun lebih awal untuk makan sahur. Momen ini dapat menjadi pemantik diri kita untuk setia pada waktu.Â
Kita pun harus konsisten hanya makan ketika matahari terbenam (magrib) dan sebelum matahari terbit (waktu subuh). Kita menahan hawa nafsu lainnya di waktu yang sama, untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah.
Kita yang sedang berjuang dalam hidup ini, jangan-jangan memang harus setia pada waktu dan tujuan?Â
Kita harus rela menahan diri untuk mencapai kebaikan yang telah kita cita-citakan dalam hidup ini. Boleh jadi hal tersebut yang juga dilakukan oleh orang-orang besar. Konsistensi membawa mereka pada kenyataan ungkapan "akhirnya saya berhasil".Â
Kita harus setia pada perjuangan di setiap harinya. Sebagaimana ibadah-ibadah di bulan ramadan ini. Bulan ramadan istimewa karena diantaranya ada satu malam kemuliaan.Â
Umat muslim mengenal malam itu dengan "lailatul qadar". Ketika perbuatan kita akan bernilai dalam hitungan berlipat-lipat ganda pada malam itu. Malam yang umat muslim tidak secara pasti tahun tanggal berapa dan kapan tibanya. Yang dapat dilakukan hanyalah konsisten dari 1 ramadan hingga malam akhir bulan ramadan.
2. Mengurangi sikap berlebihan: melatih diri untuk terbiasa tepat ukuran dan menghindari yang tak perlu
Sebagai manusia biasa, kita sangat bergelora jika bersentuhan dengan apapun yang membuat kita senang dan bahagia. Yang terkadang itu bisa menjadi jebakan, dengan membuat kita terlena dan rugi.
Momen ramadan ini dapat kita jadikan ajang melatih diri untuk bersikap tepat ukuran, sesuai fungsi dan keperluan. Misalnya, seperti ketika kita berbuka puasa. Buka puasa dengan seteguk air dan sepotong roti rupanya sudah dapat melegakan.Â
Jika kita terjebak, memang terkadang tidak puas, akan melahap satu piring makanan dan semua kudapan yang tersaji. Akibatnya kita kekenyangan, mengantuk, dan malas. Padahal, masih ada ibadah lainnya yang harus dilakukan setelah berbuka.
Bagi saya, di bulan ramadan, kita berlatih untuk mengurangi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Kita harus menyimpan energi kita untuk hal-hal yang lebih penting dan esensial. Misalnya, jika kamu anak remaja atau anak muda yang dekat dengan ponsel pintar dan konektivitas.Â
Coba bayangkan, jika quota 5 giga itu sebenarnya cukup untuk aktivitas komunikasi kita selama sebulan, mengapa kita harus membeli yang 100 giga dan bahkan yang unlimited untuk sebulan? Sehingga kita harus menghabiskan kuota yang tak terpakai secara percuma. Kita terjebak pada kebiasaan berlebihan.
3. Berlatih membangun tekad: melatih kebiasaan berniat sebagai pondasi kekuatan untuk mencapai tujuan
Bulan ramadan juga mengajarkan kita bahwa "niat" itu adalah gejala penting di dalam diri kita. Sebab, orang yang berpuasa di bulan ramadan sangat dianjurkan berniat di malam harinya. Bahkan ada yang menyatakan tidak sah jika puasa ramadan tanpa berniat di malam harinya.
Sebagaimana anjuran dari imam masjid atau pemimpin ibadah, ketika selepas salat terawih atau setelah salat Isya, yang mengajak kita membaca niat untuk berpuasa di esok hari.Â
Begitu pentingnya niat sebelum melakukan puasa ramadan, hingga kita yang berpuasa di bulan ramadan harus melafalkan atau membatinkan niat sebelum adzan subuh berkumandang.
Bentuk niat kita dapat berupa ucapan atau doa, juga dapat terlihat dari aktivitas bangun lebih awal untuk makan sahur walau hanya dengan segelas air putih. Saya kira itu adalah momen penting bagi diri kita untuk latihan bertekad.
Pengalaman meneguhkan niat secara rutin di bulan ramadan ini dapat kita adaptasi ke luar ibadah puasa. Misalnya saja kita latihan berniat dan meneguhkan tekad untuk menulis 1-2 artikel dalam satu hari, selama satu bulan penuh.
Mungkin saja, dengan selalu mengulangi niat di setiap malamnya atau di setiap harinya, siapa tahu itu membuat tekad kita makin kuat, kita lebih bersemangat menulis di setiap harinya.
Ketiga uraian makna tersirat dari aktivitas kita di bulan ramadan tersebut kiranya dapat menjadi kebisaan kita, di luar bulan ramadan. Sebab perjuangan hidup kita bukan hanya ada di bulan ramadan.
Salam.
Marendra Agung J.W
10 Ramadan 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H