Iklim keluarga yang mewarisi sifat dan sikap anak dari masyarakat bawah harus diperhatikan. Aspek negatif pada anak bukanlah kesalahan mereka. Terlebih, siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu atau prasejahtera.
Romo Mangunwijaya juga mengkategorika dua bentuk kenakalan anak. Pertama, nakal karena "penuh akal". Anak akan cenderung eksploratif baik dalam gerak maupun dalam bicara.Â
Anak yang sering bertanya dan berulah secara aktif memiliki semangat eksploratif. Hal ini perlu dijaga. Terkadang guru memojokan anak-anak yang bersikap di luar kewajaran teman-temannya. Namun itu harus diteliti dulu.
 Guru harus mampu membedakan mana kenakalan anak yang menjurus ke perilaku jahat dan yang mengarah kepada bentuk eksplorasi dan kreativitas.Â
5. Seorang guru berposisi sebagaimana bidan dalam proses kelahiran manusia.
Romo Mangunwijaya juga menegaskan sikap guru lebih fasilitator atau pembimbing dan pengarah. Bukan pemberi doktrin. Â Beliau mengutip pemikiran filsuf Socrates bahwa setiap anak telah hamil dengan kebenarannya.Â
Berdasarkan gejala  tersebut maka tugas guru adalah membidani anak agar melahirkan keistimewaannya, yang keluar dari dalam dirinya secara alami tanpa.
Dalam hal itu, guru juga harus sedikit memaksa dan mengarahkan, namun bukan menjadi pemberi keistimewaan tersebut. Perkembangan anak harus terjadi sevara alami tanpa paksaan dan tanpa dibuat-buat.Â
Tuhan telah menitipkan benih kebaikan dalam diri anak. Â Guru menbantu anak untuk punya niat dan tekad yang kuat dalam menelurkan kebaikan dari dirinya.
6. Ketegasan yang terukur bagi anak dalam pola ajar Ajrih-Asih
Menurut Romo Mangunwijaya semua pendidikan yang baik menganut pada kearifan lokal atau ajaran dari nenek moyang. Misalnya prinsip "Ajrih-Asih".