Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masalah Perlindungan Hak Anak dalam Cerpen "Mereka Mengeja Larangan Mengemis"

5 Februari 2023   13:18 Diperbarui: 11 Februari 2023   13:15 1942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karya Nasirun, sampul buku "Mereka Mengeja Larangan Mengemis" . (Sumber gambar: Kompas.id)

Satu kelompok anak kecil dilabrak oleh seorang Hansip. Kelima anak itu dituding telah melanggar hukum karena mengemis dan mengamen di perempatan jalan. Hansip berkata bahwa anak-anak kecil tersebut dapat dikenakan pidana kurungan 30 hari dan denda sebesar 50 Juta rupiah.  

Kejadian tersebut menjadi menggelitik ketika pertanyaan salah seorang anak mengusik kemapanan pikiran sang Hansip. "Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?"  tanya salah seorang anak.

Sebetulnya, kalimat larangan mengemis sudah terpampang jelas di papan kayu. Ironisnya, sebagian besar anak -anak itu tidak dapat membaca. 

Hanya satu dari mereka yang lumayan bisa membaca karena sempat sekolah. Ia dengan susah payah mengeja, "Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis dan me-ng-a-men... di-pi-da-na... ku-ru-ng-an."  Teman-temannya pun cuma bisa menguping bunyi ejaannya.

Kisah di atas memang berasal dari cerpen Ahmad Tohari berjudul "Mereka Mengeja Larangan Mengemis". Walau bukan benar-benar kenyataan, namun percikan fenomena sosial begitu tercermin dalam cerita pendek ini.

Gaya realis cerpen "Mereka Mengeja Larangan Membaca " karya Ahmad Tohari ini memang sulit dipungkiri adanya. 

Tokoh anak-anak yang dilabrak oleh Hansip tersebut berhasil membangun permasalahan yang dekat dengan masyarakat kelas bawah. 

Pembaca yang pernah bersinggungan dengan fenomena seperti pengamen, anak jalanan, dan pengemis akan merasakan kenyataan tersebut.

Ahmad Tohari tidak menggunakan satu pun kata "miskin" dalam cerpen yang menjadi judul buku "Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019" itu.  Akan tetapi, narasi ceritanya telah membingkai karakter lima anak tersebut dalam latar belakang kemiskinan.

Setiap pagi mereka berkumpul di pangkalan truk yang dikelilingi warung-warung, paling banyak warung nasi. Empat anak laki-laki memang selalu tidur di situ, di lantai emper warung yang sudah tutup atau di mana saja sesuka mereka.  Di malam hari mereka sudah terbiasa dengan banyaknya nyamuk. Tetapi mereka sering tidak bisa tidur ketika perut lapar. Gupris tidak ikut tidur jadi gelandangan di pangkalan. Dia lain. Dia punya rumah kecil di belakang pangkalan. Ada emak, tapi tidak ada ayah. ( Narasi Cerpen)

Ilustrasi karya Nasirun, sampul buku
Ilustrasi karya Nasirun, sampul buku "Mereka Mengeja Larangan Mengemis" . (Sumber gambar: Kompas.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun